Kopi Cowas

Yang nama cafe-nya belum disebut silakan --masukkan di kolom komentar.
Di antara yang banyak itu ada yang sehari omsetnya Rp 2 miliar. Sebulan Rp 60 miliar!
Saya jadi ingat masa lalu.
Dulu. Saya sering memacu teman-teman manajemen surat kabar. Dari kelompok yang tidak maju-maju. Yang omsetnya hanya di bawah 10 miliar/bulan.
Namun nama korannya begitu besar. Wartawannya begitu merasa jagoan. Jabatan pemrednya begitu prestisius.
"Secara perusahaan Anda ini kalah dengan penjual bakso di Blok S," kata saya. "Ayo, kita maju," tambah saya. Lalu kami diskusi bagaimana cara maju.
Kini contoh itu bertambah lagi: kedai kopi. Yang sampai punya omset Rp 2 miliar sehari. Yang kreatifnya bukan main. Bisa membuat kopi dengan rasa apa saja.
Saya suka kopi yang rasa pandan. Tak terbayangkan ditemukan kopi rasa pedesaan. Yang ternyata disukai orang metropolitan. Yang latar belakangnya mungkin juga dari desa.
Kesukaan saya itu mungkin juga terpengaruh masa kecil. Nasi uduk (lemak) diberi pandan. Bubur diberi pandan. Kue ditaburi irisan daun pandan. Sebelum dimasak.
Orang mati ditaburi irisan daun pandan. Tidak kuat beli bunga. Harumnya sama.
Mungkin kalau kelak ada kopi rasa nangka saya pun suka. Sudah terbiasa apa saja diberi nangka. Sejak kecil.
Terbukti Starbucks ternyata bukan ancaman. Bagi yang kreatif.
Saya juga bertanya pada bos Kapal Api. Produsen kopi terbesar di Indonesia itu. Apakah seperti Starbucks tidak mengancam Kapal Api?
“Sama sekali tidak," ujar Sudomo, pemilik Kapal Api. "Starbucks justru membantu memasyarakatkan kopi. Terutama kepada anak-anak muda perkotaan," tambahnya.