Film Bumi Manusia, Pembuktian Hanung “Membumikan” Bumi Manusia

Oleh: Jeri Wongiyanto
Pecinta dan Pengamat Film
BUKAN perkara mudah mengadaptasi novel fenomenal “Bumi Manusia” ke layar lebarr. 39 tahun lalu sejak bukunya dirilis kemudian sempat dilarang beredar pada masa Orde Baru. Perjalanan panjang menfilmkan novel ini juga menjadi catatan yang menarik, bermula dari keinginan sutradara Hanung Bramantyo meminta izin pada Pramoedya Ananta Toer menfiilmkan kisah Nyai Ontosoroh, tokoh yang ada dalam novel Bumi Manusia, saat itu Hanung masih kuliah, namun ditolak oleh Pram.
Lalu kemudian sutradara Hollywood kawakan Oliver Stone yang membuat film “Platoon” (1986) “JFK” (1991) sempat menawarnya dengan harga yang sangat tinggi, tapi Pram juga menolaknya, karena alasan ingin orang Indonesia yang menggarapnya. Ada banyak sutradara yang ingin membuat film ini, seperti Garin Nugroho, Riri Reza, hingga kemudian jatuh kembali ke tangan Hanung.
Dan inilah pembuktian Hanung, bahwa di tangannya karya sastra hebat milik Pram, berhasil diangkat ke layar lebar
Berkisah tentang seorang pribumi bernama Minke (Iqbaal Ramadhan) pelajar di HBS (Hogere Burger School) atau SMU nya para kaum Belanda dan priyayi. Di masa remajanya, ia jatuh cinta dengan Annelies (Mawar Eva de Jongh) gadis manja keturunan Belanda, putri seorang pribumi, Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti) dan bangsawan Belanda, Hertman Mellema (Giargino Abraham).
Cinta yang tumbuh di tengah konflik sosial dan ketidak adilan di masa penjajahan Belanda inilah yang akan dinikmati penonton.
Tak hanya itu, ada kisah perjuangan Nyai Ontosoroh, istri simpanan Herman Mellema yang dipandang miring oleh masyarakat, tetapi kemudian belajar menjadi pengusaha sukses. Juga betapa Minke tersadar pada rasa kebangsaan dan kemanusiaannya bangkit lewat benturannya dengan berbagai orang.