Pengembang Setop Rumah Bersubsidi

  • Bagikan
Imbas Anggaran Pusat Habis FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Pengembang makin menjerit. Menghentikan pembangunan rumah subsidi bisa menjadi pilihan sulit. Namun, pilihan itu tetap diambil. Situasi menjepit, alasannya. Sejak Juni lalu, dana subsidi untuk rumah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) telah terhenti. Selama ini, MBR dimudahkan dengan kredit rumah sistem Fasiltas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Ini menyasar mereka yang ingin rumah, namun pengasilan pas-pasan. Sebetulnya, hunian yang mendapat subsidi dari pemerintah, baik itu skema FLPP maupun Subsidi Selisih Bunga (SSB), merupakan salah satu nawa cita Presiden Joko Widodo, yang digaungkan dalam bentuk program "Sejuta Rumah". Sejauh ini program tersebut trennya terus naik sejak di anggarkan pada tahun 2015 silam. Kala itu, pembangunan rumah mencapai 699.700 unit. Masuk tahun 2016, meningkat menjadi 805.169 unit. (Selengkapnya lihat grafis) Data terbaru Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) per 26 Agustus, realisasinya telah menembus 847.611 unit. Sejak memasuki semester kedua tahun ini, kuota subsidi itu pun menyusut. Yang terjadi cuma closing terbatas dari pengembang. Bahkan kini, sudah tak ada sama sekali. Wakil Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) Sulsel Bidang Promosi dan Pameran, Mustajab Mudji, mengatakan, kalau September ini masih belum ada kepastian kuota subsidi itu, maka terjadi stagnasi jualan hunian. "Sudah tidak ada lagi pembangunan kalau begini terus kondisinya," keluh Mustajab, Senin, 2 September. Perlu diketahui, Kementerian PUPR telah meminta kuota fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) sampai 150.000 unit, dan sampai saat ini belum mendapat respons Kemenkeu. VIDEO GRAFIS : Imbas Anggaran Pusat Habis Krisis Utang Menurut Mustajab, para pengembang akan mengalami krisis. Krisis yang dimaksudkannya adalah, para pengembang terbebani oleh bunga kredit konstruksi yang digunakan untuk membangun hunian bersubsidi. "Opsinya ada dua. Tetap menjual huniannya dengan harga Rp146 juta. Tetapi, pakai skema komersial. Pastinya, tidak flat (rata) 5 persen angsurannya," jelasnya. Itu pun kalau calon user tertarik. Sebab, sejauh ini masyarakat telah teredukasi dengan skema FLPP yang memang sangat ringan karena ada subsidi dari pemerintah. Pilihan selanjutnya adalah menghentikan pembangunan atau pengembangan proyek. Sebab, kalau pengembang terus menggenjot pembangunan dengan menggunakan kredit konstruksi, maka mereka akan terbebani bunga yang tidak murah (sekitar 13 persenan). "Jadi pengembang yang punya ready stock akan menjualnya dengan skema komersial. Kalau pengembang yang ingin pengembangan proyek, pasti menahan diri dan menghentikan sejenak pembangunannya," ucap Direktur Utama PT Togika Graha Bakti itu. Kalau pengembang sampai masuk ke opsi penghentian pembangunan, menurutnya akan terjadi perlambatan sektor properti. Untuk di Sulsel saja, 300-an pengembang naungan REI Sulsel, sekitar 70 persen merupakan pengembang hunian bersubsidi. Tanda Jadi Salah satu pengembang hunian bersubsidi di Kabupaten Maros, Abdul Salam, mengaku, sudah dua bulan belakangan ini hanya closing beberapa unit saja. Padahal sebelum-sebelumnya bisa belasan hingga puluhan yang closing. "Peminat rumah subsidi sekarang ini sangat tinggi. Tetapi, sekarang kami bisa buat inden saja dulu. Belum bisa closing. Dengan harapan menanti kuota subsidi itu yang masih tidak jelas," keluh Abdul Salam yang juga Owner PT Sanusi Karsa Tama itu. Bukan tidak mungkin, katanya, ia akan memilih opsi untuk menghentikan pengembangan proyek, kalau belum ada kepastian kuota subsidi. "Tidak bisa closing artinya income tertahan. Sementara kredit konstruksi mau dibayar tiap bulan plus bunganya," jelasnya. Kendati demikian, stakeholder DPD REI Sulsel itu masih bisa bertahan sementara waktu. Cashflow-nya sejauh ini masih terbantu oleh tanda jadi dari calon user. "Itu dipakai untuk operasional seperti tukang. Pemerintah harus berikan atensi terkait masalah ini. Kalau pengembang hentikan pembangunan, artinya tukang-tukang itu kehilangan pekerjaan," bebernya. Target Susut Sementara itu, Ketua DPD REI Sulsel, M Sadiq, mengaku, sejak Juni lalu, realisasi dari target 25 ribu unit hunian, separuhnya telah tercapai. Namun, tidak semua subsidi. Sekitar 70-80 persen subsidi. "Sisanya hunian komersial," sebutnya. Namun, setelah kuota subsidi habis, bos Zarindah Group itu menjelaskan, terjadi stagnasi jualan hunian bersubsidi. "Kalau pun ada yang closing itu hanya beberapa unit saja per pengembang," jelasnya. Ia menjelaskan bahwa kalau situasi ini terus berlanjut tak ada kepastian, maka ia yakin target REI tahun ini pun susah tercapai. (*)
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan