Oleh Dahlan Iskan
FAJAR.CO.ID-- Heroik tapi sendu.
Itulah suasana di malam terakhir parlemen Inggris.
Senin malam lalu.
Heroik, karena banyak yang menyanyikan lagu nasional masing-masing.
Sendu, karena masih ada orang gentleman pada hampir jam 1 dini hari itu.
Juga karena ada yang tidak 'Inggris'.
Hari itu terjadilah yang tidak diperkirakan terjadi. Setidaknya, ini tidak diperkirakan oleh BoJo --Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson.
Jadinya saling kunci.
BoJo mengunci parlemen.
Parlemen mengunci perdana menteri.
Awalnya BoJo memang berhasil membekukan parlemen. Selama lima minggu ke depan.
Alasannya: akan ada Queen Speech. Di tanggal 15 Oktober. Lima minggu sebelum itu tidak boleh ada aktivitas di parlemen.
BoJo-lah yang meminta Ratu Elizabeth untuk Queen Speech. Setiap perdana menteri baru memang seperti itu. Semacam untuk pidato pembukaan sidang parlemen. Yang isinya mengenai rencana-rencana pemerintahan baru.
Yang menyampaikan pidato itu Ratu.
Yang membuat pidato itu perdana menteri --pemerintahannya.
Begitulah aturan di Inggris.
Kebetulan, BoJo --sejak jadi PM Juli lalu-- belum pernah minta Ratu untuk Queen Speech.
Kebetulan juga, parlemen sedang menjalani libur panjang musim panas.
Queen Speech itu bisa menandai dimulainya masa persidangan setelah reses. Sekalian untuk menjelaskan program baru BoJo. Terutama mengenai langkahnya setelah Inggris keluar dari Uni Eropa.
Dengan Queen Speech itu parlemen terkunci.
Begitu liburan selesai, hari pembekuan pun tiba: Selasa, 10 September.
Tidak ada waktu lagi bagi parlemen. Untuk mempersoalkan agenda BoJo yang terkenal itu: Brexit sekarang juga, tanpa deal sekali pun.