Literasi Keluarga dan Keluarga Literasi

  • Bagikan
Oleh: Fitrawan Umar (Penulis; Dosen Universitas Muhammadiyah Makassar) Literasi sedang digaung-gaungkan saat ini. Literasi menjadi perhatian sebab Indonesia kini dihadapkan pada dua tantangan besar, yakni bonus demografi pada hari-hari mendatang, dan kenyataan hari ini bahwa indeks literasi Indonesia masih berada di bawah negara-negara lain. Kita tahu, literasi adalah bekal penting, bahkan paling penting, bagi kemajuan sumber daya manusia dalam periode bonus demografi mendatang atau kurun abad ke-21. Apabila komposisi penduduk diisi oleh generasi muda kurang berkualitas, bonus demografi dapat berbalik menjadi ancaman yang serius. Persaingan global kian ketat. Indonesia tidak dapat lagi hanya mengandalkan kekayaan alam sebagai ‘jualan’ ke dunia. Negara-negara maju di seluruh dunia juga tidak mengandalkan kekayaan alam semata. Dalam memenangkan persaingan, Indonesia butuh generasi muda yang pandai, kritis, kreatif, inovatif, berdaya juang tinggi, dan punya kemampuan beradaptasi dalam segala rintangan. Profil generasi muda yang demikian tidak lain adalah generasi muda literat. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, telah berada pada jalur yang benar ketika mencetuskan Gerakan Literasi Nasional. Begitu pula pemerintah sudah tepat saat menjadikan Gerakan Literasi Keluarga sebagai bagian dari Gerakan Literasi Nasional. Kenyataannya memang keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang berperan penting dalam membentuk karakter seorang individu. Keluarga adalah sekolah pertama anak dalam menyerap pengetahuan. Tujuan besar literasi keluarga, dalam bayangan penulis, adalah terciptanya keluarga literat, atau keluarga berliterasi, atau dalam tulisan ini disebut saja sebagai keluarga literasi. Seperti apakah keluarga literasi itu? Sederhananya adalah keluarga yang mencintai ilmu pengetahuan. Pengertian ini melampaui pengertian awam keluarga literasi yang sekadar diartikan sebagai keluarga yang membaca buku pada jam-jam tertentu. Keluarga yang mencintai ilmu pengetahuan, apa pun jenis ilmunya, akan melibatkan seluruh anggota keluarga untuk terus belajar. Belajar, dalam hal ini, tentu saja adalah membaca buku, menonton yang positif, berdiskusi, dan berkegiatan lain yang menunjang pengembangan diri individu, terutama yang berhubungan dengan anak dan kaum muda. Olehnya, literasi keluarga perlu dibedakan dengan literasi di keluarga. Literasi di keluarga tidak akan sampai apabila literasi keluarga belum dituntaskan. Kata literasi pada ‘literasi keluarga’ sendiri sama pengertiannya dengan kata literasi pada ‘literasi finansial’, ‘literasi sains’, ‘literasi digital’, dan sejenisnya, yakni pemahaman mengenai keluarga-pentingnya keluarga-bagaimana menjadi istri-bagaimana menjadi suami-bagaimana peran ibu-bagaimana peran ayah-dan seterusnya. Literasi keluarga menjadi tantangan bagi negara sebab tidak diajarkan lewat jalur pendidikan formal. Tidak ada materi pelajaran mengenai bagaimana menjadi ayah atau ibu yang baik agar anak dapat tumbuh berkembang, dan lainnya. Namun, bukan berarti negara tidak benar-benar hadir dalam hal ini. Ada beberapa upaya yang dilakukan negara lewat pemerintah yang menyentuh pendidikan keluarga, seperti gerakan-gerakan pelibatan keluarga dalam satuan pendidikan sebagaimana program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kelas pranikah dari Kementerian Agama, dan program keluarga yang lain dari Kementerian Sosial. Gerakan-gerakan yang tumbuh dari masyarakat juga menarik untuk dicermati dan diapresiasi. Banyak komunitas terbentuk dalam rangka penyebaran ilmu mengenai keluarga dan pendidikan anak. Diskusi dan seminar-seminar juga marak dilakukan di berbagai daerah di seluruh Indonesia.  Usaha-usaha seperti ini perlu terus didukung agar keluarga menjadi kuat dan menjadi ‘sumber produksi’ generasi literat. Pertumbuhan anak memang tergantung orang tua yang memberinya ilmu pertama kali. Apabila sejak dini anak diajari mencintai ilmu pengetahuan, pada masa-masa akan datang  anak akan terbiasa dengan ilmu pengetahuan, dan yang paling penting adalah mudah menguasai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang mengakar pada diri anak membuatnya mampu untuk berpikir kritis, kreatif, dan inovatif, sebagaimana yang dibutuhkan dalam persaingan global pada masa-masa mendatang. Rasanya perlu menjadi keyakinan bersama bahwa warisan terpenting orang tua kepada anak-anaknya adalah ilmu pengetahuan. Harta dapat habis, tetapi ilmu tidak. Dalam skala negara, kekayaan alam dapat habis, tetapi kekayaan pikiran tidak. Setelah literasi keluarga, kampanye literasi di keluarga akan menjadi lebih mudah. Orang tua akan menyadari betapa pentingnya literasi bagi anak-anaknya. Kadang-kadang yang menghambat kampanye literasi di keluarga adalah orang tua sendiri, yaitu orang tua yang tidak memahami bahwa ilmu pengetahuan sangat berarti bagi anak, dan semua itu adalah kewajibannya sebagai orang tua. Kadang pula ditemui orang tua yang sudah paham pentingnya literasi, tetapi tidak paham bagaimana mengimplementasikannya kepada anak. Sebagai misal, orang tua menyuruh anak untuk rajin membaca, tetapi orang tuanya sendiri tidak rajin membaca; atau tidak rutin membelikannya buku bacaan yang menarik; atau tidak pernah mengajaknya dalam aktivitas-aktivitas yang merangsang minat membaca dan menguasai ilmu pengetahuan secara umum. Indonesia punya potensi besar menuju negara literat. Syarat-syaratnya tentu saja dimulai dari individu literat, keluarga literat, dan masyarakat literat—termasuk juga pemerintahan literat. Kita patut bersyukur bahwa pemerintah telah melakukan banyak upaya menuju pemerintahan literat yang ideal, yang dalam hal ini tercermin dari pelaksanaan Gerakan Literasi Nasional, dan termasuk di dalamnya ialah Gerakan Literasi Keluarga. Semoga kita semua dapat menjadi keluarga besar literasi Indonesia. (*)
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan