Gereja Bar

  • Bagikan
Saya terus melangkah ke sana. Tulisan di dinding depannya membuat saya terhenyak: Church Bar. Bar Gereja. Saya pun menapaki tangga naik ke terasnya. Lalu masuk. Penuh dengan orang minum bir. Sepagi itu. Ternyata, ini bukan gereja. Saya pun memesan sarapan. Roti keju, kacang merah bersaus, sosis veggie, tomat goreng, dan kentang hash brown. Roti kejunya luar biasa lezatnya: toast yang dibakar sambil ditumpahi keju. Sambil makan saya amati ruang itu. Besar sekali. Saya amati bentuk dinding dan lengkung-lengkung interiornya. Saya amati juga bangku-bangku panjang yang jadi tempat duduk ini. Begitu mirip dengan dalamnya sebuah gereja. "Apakah bangunan ini dulunya gereja?" tanya saya ke pelayan bar itu. "Betul. Dulu sekali," jawabnya. "Sejak kapan berubah menjadi bar?" tanya saya lagi. "I have no idea. Sudah lama sekali". "Bar ini sudah berapa tahun?" “Baru akan tiga tahun, Natal nanti". Yang masuk ke Church Bar ini pun kian banyak. Rupanya tidak semua akan ke stadion. Banyak juga yang hanya akan nonton bareng di situ. Ada layar lebar di posisi altar itu. Semua bar di sepanjang jalan itu sama: menyelenggarakan nobar. Penuh semua. Begitu banyak saya sarapan. Terlalu kenyang. Gara-gara toast bakar berkeju. Ukuran besar. Yang harus saya habiskan. Terlalu enak. Saya pun kembali ke stadion. Ada panggung musik yang sangat besar di halaman stadion. Di pojok kiri dekat toko suvenir. Saya agak lama menonton di panggung itu. Menunggu dalam hati --siapa tahu Saskia Gotik akan tampil di situ. Kalaupun bukan Saskia, --Gothiknya pun jadi.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan