Dalam perjalanannya, lanjut Nata, mungkin tidak ada pelayanan di desa-desa itu sehingga memunculkan pengaduan dari masyarakat. Bisa jadi, salah satunya karena jumlah penduduk yang sedikit. ’’Ada satu desa yang ternyata jumlah penduduknya hanya tujuh kepala keluarga,’’ ungkapnya.
Sebelum terbitnya UU Desa, kondisi itu dimungkinkan lantaran jumlah penduduk tidak menjadi kriteria pembentukan desa. Nata berharap publik tidak buru-buru menyimpulkan bahwa sebuah wilayah adalah desa fiktif. Sebab, secara de facto, wilayahnya ada. Yang menjadi persoalan, apakah secara hukum pembentukan desa tersebut sudah benar.
Sebelum UU Desa terbit, jumlah desa mencapai 69 ribuan. Saat ini jumlahnya sekitar 74 ribu. Ada sekitar 5 ribu desa baru yang pembentukannya disetujui Kemendagri berdasar aturan UU Desa. Nata berjanji segera mengumumkan bila Kemendagri sudah menyimpulkan empat desa itu fiktif atau tidak.
Direktur Penataan dan Administrasi Pemerintahan Desa Aferi S. Fudail menjelaskan, dugaan sementara aparat hukum adalah kesalahan administratif. ’’Administrasi yang dijadikan acuan untuk mendapatkan kode (desa) dari Jakarta, perdanya dikatakan palsu,’’ terangnya. Sebab, nomor perda yang diterbitkan itu seharusnya bukan untuk menetapkan empat wilayah menjadi desa.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo tidak ingin isu desa fiktif bergulir liar. Apalagi terkait dengan penyaluran program dana desa. Dia berjanji untuk menindak. ”Kita kejar agar yang namanya desa-desa itu tadi diperkirakan, diduga itu fiktif ketemu, ketangkep,” ujarnya di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, kemarin (6/11).