Jokowi mengakui bahwa mengelola dana desa bukan perkara mudah. Sebab, saat ini saja jumlah desa di seluruh Indonesia mencapai 74 ribu lebih. ”Manajemen mengelola desa sebanyak itu tidak mudah,” katanya.
Potensi manipulasi keberadaan desa sangat mungkin ada. Modusnya pun bisa beragam. ”Misalnya, dipakai plangnya saja, tapi desanya nggak (ada). Bisa saja terjadi karena dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Sebuah pengelolaan yang tidak mudah,” tuturnya.
Di bagian lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memaparkan data terbaru soal dugaan desa ’’hantu” yang merupakan bagian dari supervisi dan koordinasi penindakan. Juru Bicara KPK Febri Diansyah menjelaskan, ada 34 desa di Konawe, Sultra, yang diduga bermasalah dalam hal pengelolaan dana desa (DD) dan alokasi dana desa (ADD) tahun anggaran 2016–2018.
Febri memaparkan, 3 di antara 34 desa tersebut fiktif. Sebanyak 31 desa lainnya ada, tapi surat keputusan (SK) pembentukannya terindikasi backdate atau dibentuk dengan tanggal mundur. ”Pada saat (31, Red) desa tersebut dibentuk, sudah ada moratorium dari Kemendagri sehingga untuk mendapatkan dana desa harus dibuat backdate,” katanya.
Sebanyak 34 desa itu tentu saja terindikasi melakukan tindak pidana korupsi lantaran membentuk atau mendefinitifkan desa-desa dengan menggunakan dokumen tidak sah alias melanggar prosedur. Perbuatan tersebut berpotensi mengakibatkan kerugian keuangan negara atau daerah lantaran menyalurkan DD atau ADD ke desa-desa hantu.
Febri menerangkan, perkara itu ditangani penyidik Polda Sultra bersama KPK sejak beberapa bulan lalu. Pada 24 Juni, dilakukan gelar perkara pada tahap penyelidikan. Dalam ekspose disimpulkan adanya indikasi tindak pidana sehingga dinaikkan ke tahap penyidikan. ”Juga dilakukan pengambilan keterangan ahli hukum pidana,” paparnya.