FAJAR.CO.ID, JAKARTA-- Desa-desa yang diduga fiktif dipastikan tidak muncul tiba-tiba. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyatakan bahwa desa-desa di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, itu sudah lama ada. Hanya, diduga prosedur penetapan wilayahnya sebagai desa keliru.
Dirjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri, Nata Irawan mengungkapkan bahwa laporan awal yang disampaikan KPK menyebut 56 desa diduga fiktif. Namun, ketika dicek langsung di lapangan, yang diyakini fiktif hanya empat desa.
Menurut dia, yang dimaksud fiktif adalah kesalahan administrasi dalam penetapan sebagai desa. ’’Ada perda yang sebenarnya tidak menetapkan untuk desa-desa tersebut. Ditengarai, di perda itu ada kekeliruan,’’ jelas Nata saat ditemui di kompleks parlemen kemarin (6/11).
Saat itu desa-desa tersebut mungkin tidak seharusnya ditetapkan dalam perda, tapi ternyata masuk. Karena itu, pihaknya akan menginvestigasi lebih lanjut bersama pemda dan Polda Sulawesi Tenggara. ’’Kalau memang benar-benar secara data dan administrasi itu jelas kekeliruan, kami cabut keberadaan desa tersebut,’’ tegas Nata.
Dia memastikan bahwa sejak 2017 empat desa itu tidak lagi menerima dana desa. Dananya ditahan di kabupaten/kota.
Nata menjelaskan perihal desa-desa tersebut bisa lolos menjadi wilayah administratif. Pertama, perda yang menaungi pembentukan empat desa itu terbit pada 2011. Jauh sebelum terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Ketika didaftarkan ke Kemendagri, desa-desa itu langsung disetujui karena ada dasar hukum berupa perda.
Dalam perjalanannya, lanjut Nata, mungkin tidak ada pelayanan di desa-desa itu sehingga memunculkan pengaduan dari masyarakat. Bisa jadi, salah satunya karena jumlah penduduk yang sedikit. ’’Ada satu desa yang ternyata jumlah penduduknya hanya tujuh kepala keluarga,’’ ungkapnya.
Sebelum terbitnya UU Desa, kondisi itu dimungkinkan lantaran jumlah penduduk tidak menjadi kriteria pembentukan desa. Nata berharap publik tidak buru-buru menyimpulkan bahwa sebuah wilayah adalah desa fiktif. Sebab, secara de facto, wilayahnya ada. Yang menjadi persoalan, apakah secara hukum pembentukan desa tersebut sudah benar.
Sebelum UU Desa terbit, jumlah desa mencapai 69 ribuan. Saat ini jumlahnya sekitar 74 ribu. Ada sekitar 5 ribu desa baru yang pembentukannya disetujui Kemendagri berdasar aturan UU Desa. Nata berjanji segera mengumumkan bila Kemendagri sudah menyimpulkan empat desa itu fiktif atau tidak.
Direktur Penataan dan Administrasi Pemerintahan Desa Aferi S. Fudail menjelaskan, dugaan sementara aparat hukum adalah kesalahan administratif. ’’Administrasi yang dijadikan acuan untuk mendapatkan kode (desa) dari Jakarta, perdanya dikatakan palsu,’’ terangnya. Sebab, nomor perda yang diterbitkan itu seharusnya bukan untuk menetapkan empat wilayah menjadi desa.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo tidak ingin isu desa fiktif bergulir liar. Apalagi terkait dengan penyaluran program dana desa. Dia berjanji untuk menindak. ”Kita kejar agar yang namanya desa-desa itu tadi diperkirakan, diduga itu fiktif ketemu, ketangkep,” ujarnya di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, kemarin (6/11).
Jokowi mengakui bahwa mengelola dana desa bukan perkara mudah. Sebab, saat ini saja jumlah desa di seluruh Indonesia mencapai 74 ribu lebih. ”Manajemen mengelola desa sebanyak itu tidak mudah,” katanya.
Potensi manipulasi keberadaan desa sangat mungkin ada. Modusnya pun bisa beragam. ”Misalnya, dipakai plangnya saja, tapi desanya nggak (ada). Bisa saja terjadi karena dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Sebuah pengelolaan yang tidak mudah,” tuturnya.
Di bagian lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memaparkan data terbaru soal dugaan desa ’’hantu” yang merupakan bagian dari supervisi dan koordinasi penindakan. Juru Bicara KPK Febri Diansyah menjelaskan, ada 34 desa di Konawe, Sultra, yang diduga bermasalah dalam hal pengelolaan dana desa (DD) dan alokasi dana desa (ADD) tahun anggaran 2016–2018.
Febri memaparkan, 3 di antara 34 desa tersebut fiktif. Sebanyak 31 desa lainnya ada, tapi surat keputusan (SK) pembentukannya terindikasi backdate atau dibentuk dengan tanggal mundur. ”Pada saat (31, Red) desa tersebut dibentuk, sudah ada moratorium dari Kemendagri sehingga untuk mendapatkan dana desa harus dibuat backdate,” katanya.
Sebanyak 34 desa itu tentu saja terindikasi melakukan tindak pidana korupsi lantaran membentuk atau mendefinitifkan desa-desa dengan menggunakan dokumen tidak sah alias melanggar prosedur. Perbuatan tersebut berpotensi mengakibatkan kerugian keuangan negara atau daerah lantaran menyalurkan DD atau ADD ke desa-desa hantu.
Febri menerangkan, perkara itu ditangani penyidik Polda Sultra bersama KPK sejak beberapa bulan lalu. Pada 24 Juni, dilakukan gelar perkara pada tahap penyelidikan. Dalam ekspose disimpulkan adanya indikasi tindak pidana sehingga dinaikkan ke tahap penyidikan. ”Juga dilakukan pengambilan keterangan ahli hukum pidana,” paparnya.
Berikutnya, pada 25 Juni, pimpinan KPK dan Kapolda Sultra mengadakan pertemuan. Pada saat itulah KPK diminta melakukan supervisi dan memberikan bantuan berupa memfasilitasi ahli pidana untuk menyatakan bahwa proses pembentukan desa yang berdasar peraturan daerah (perda) dibuat backdate merupakan bagian dari tindak pidana.
Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) perkara itu pun telah disampaikan ke KPK sesuai pasal 50 UU KPK. Dan, sesuai KUHAP, penyidikan dilakukan Polri untuk mencari dan mengumpulkan bukti hingga menemukan tersangka yang harus bertanggung jawab atas dugaan penyelewengan itu. ”Kami berupaya maksimal untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi,” katanya.
Terpisah, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menuturkan, temuan desa fiktif mestinya membuat pemerintah mengubah sistem verifikasi. ”Kalau ada desa itu kan berarti ada verifikasi. Mestinya dengan verifikasi itu, kalau desanya nggak benar, kan tidak bisa mendapatkan dana. Apalagi kalau sampai fiktif, berarti ada proses verifikasi yang tidak benar,’’ ujarnya.
Temuan dana desa fiktif itu, menurut Aviliani, merupakan sebuah tindakan kriminal. Sebab, penggunaan keuangan negara tanpa ada bukti sebagai desa tentu menyalahi ketentuan. (jpg/fajar)