FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Sebagai guru honorer K2, sudah 15 kali Titi Purwaningsih ikut merayakan Hari Guru Nasional termasuk HGN tahun ini. Bersama rekan-rekannya yang lain, dia berbaris di lapangan mengikuti upacara peringatan HGN.
Sudah 15 tahun mengabdi sebagai guru honorer, dia tidak merasakan kesejahteraan sebagai tenaga pendidik. Dari honor Rp75 ribu per bulan, kemudian naik menjadi Rp150 ribu terus bertambah lagi ke angka Rp300 ribu per bulan. Itupun harus menunggu tiga bulan untuk bisa menikmati gajinya itu.
Sebagai wali kelas VI di salah satu SDN Kabupaten Banjarnegara, Titi menanggung beban besar. Selain bertanggung jawab dalam proses belajar mengajar, juga dibebani pekerjaan administrasi.
Namun, itu tetap dilakoninya dengan harapan suatu saat akan diangkat PNS. Seperti janji-janji awal mereka direkrut akan dijadikan PNS.
"Dulu kan yang honorer otomatis jadi PNS. Makanya saya dan teman-teman mau saja jadi guru honorer belasan tahun," kata Titi kepada JPNN.com (grup fajar.co.id), Senin (25/11).
Ketum Perkumpulan Hononer K2 Indonesia (PHK2I) ini mengaku, sebagai manusia biasa terkadang ingin menyerah pada keadaan.
Tidak berjuang dan memilih berhenti jadi guru honorer. Namun, rasa itu kalah manakala melihat wajah-wajah polos para siswanya.
"Saya kasihan melihat mereka. Kalau bukan kami, siapa lagi yang mau mengajar di desa. Di sekolah saya ini, lebih banyak honorernya daripada PNS," ucapnya.
Titi pun mengaku berduka melihat ketidakadilan yang dipertontonkan pemerintah. Salah satunya lewat pembiayaan kartu pra-kerja. Lulusan SMA/SMK dan perguruan tinggi diberikan dana pelatihan serta insentif bulanan Rp500 ribu per orang. Nilai yang cukup besar bagi seorang "pengangguran".
"Saya tidak habis pikir mengapa pemerintah lebih menghargai pengangguran daripada kami. Kami yang mengajar setiap hari malah ditelantarkan dengan alasan tidak ada regulasi. Lah, kenapa untuk pra kerja dibuatkan regulasi," kritiknya.
Kritikan juga disampaikan Nur Baitih. Guru honorer K2 di DKI Jakarta ini memang sudah menerima gaji Rp3,8 juta per bulan. Namun, setiap tahunnya mereka harus menghadapi serentetan ujian.
Yang lulus tes, bisa tetap bekerja dan menerima gaji Rp3.8 juta. Sebaliknya, bila tidak lulus haknya dicabut.
"Gaji kami (guru honorer di DKI Jakarta, red) memang lebih tinggi dibandingkan daerah lain tetapi kami tiap tahun selalu waswas," ujar Nur yang juga Korwil PHK2I DKI Jakarta.
Baik Titi maupun Nur berharap, ada kebijakan pemerintah yang memihak kepada guru. Guru bukan hanya PNS. Masih banyak guru honorer yang hidupnya jauh di bawah sejahtera.
"Jangan ingat kami di Hari Guru saja. Ingatlah kami setiap waktu. Pemerintah selalu menuntut guru harus berkompetensi tinggi sementara ruang pelatihan bagi kami dibatasi. Guru dituntut fokus mengajar, sementara kesejahteraan kami tidak dipikirkan pemerintah," seru Titi.
Dia berharap, pemerintah tidak sekadar beretorika menciptakan SDM unggul. Sebab, sampai saat ini guru yang menjadi kunci dari pendidikan di Indonesia malah dikesampingkan. (jpnn/fajar)