Termasuk putusan menutup atau menjual. Atau meneruskan pabrik rugi.
Bahkan termasuk sulit saat memilih siapa yang layak memimpin pabrik baja.
Pabrik baja bertolak belakang dengan pabrik --misalkan-- handphone dan sejenisnya.
Memilih pimpinan pabrik baja jauh lebih sulit.
Sekali memilih harus benar untuk waktu lama. Ia/dia harus memimpin dalam jangka yang cukup panjang. Setidaknya lima tahun. Kalau bisa 8 tahun.
Bicara pabrik baja adalah bicara jangka panjang. Strategis. Sesuai dengan karakter industri baja.
Jangan pernah cepat mengganti pimpinan pabrik baja. Jangan terjebak berpikir jangka pendek. Itu bukan jiwa pabrik baja.
Tiga kali mengganti bos pabrik baja dalam lima tahun membuat kultur industri baja tidak terbentuk.
Bisa jadi saya salah dalam menyimpulkan itu. Saya bisa menerima pandangan lain yang lebih benar.
Jadi, Krakatau Steel perlu dijual atau tidak?
Lihatlah angka berikut ini. Kebutuhan baja dalam negeri --di tahun 2019-- adalah 14 juta ton. Angka ini cenderung naik terus. Apalagi kalau ekonomi Indonesia terus meroket. Ruang untuk tumbuh masih sangat besar.
Produksi baja Indonesia saat ini 7 juta ton. Sudah termasuk pabrik stainless steel terbaru di Morowali, Sulawesi Tenggara.
Berarti, produksi baja kita sebenarnya baru separo dari kebutuhan dalam negeri.
Jelas sekali, pabrik baja di dalam negeri masih diperlukan.
Asal harganya bisa bersaing dengan baja impor. Terutama dari --Anda saja yang melanjutkan kalimat itu.
Saya termasuk yang menyesal tidak cepat memutuskan ini: ganti total gas di Krakatau Steel dengan batu bara. Memang perlu uang banyak.