FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Ruang Antara didirikan sejak tahun 2014. Namun dengan berbagai pertimbangan, Ruang Antara “menepi” sejenak di tahun 2016. Baru kemudian di akhir tahun 2019 ini, Ruang Antara hadir kembali.
Terselenggara atas kerja sama dengan Program Studi Ilmu komunikasi Universitas Fajar. Berlangsung di Ballroom Universitas Fajar, Kamis, 9 Januari 2020.
Direktur Ruang Antara, Ayu Adriyani, membincangkan UU ITE Hari Ini. Menurutnya, realitas kebudayaan hari ini diwarnai oleh informasi yang melimpah ruah. Tentu saja, perkembangan internet memiliki peran besar untuk memapankan era obesitas informasi ini. Dalam sejarah perkembangan komunikasi massa, studi tentang Internet adalah yang paling muda, karena memang kemunculannya yang belakangan.
“Namun meskipun muncul belakangan, karakteristik Internet adalah peluang dan tantangan yang menarik. Internet bekerja menerabas sekat-sekat ruang dan waktu, terlebih jika dibandingkan dengan media konvensional yang telah lebih dulu ada,” katanya.
Hal ini bisa dilihat dari kaburnya jarak antara ruang privat dan ruang publik dengan melihat trend pesan yang berseliweran di media sosial. Secara lebih lanjut, ada trend untuk meraih validasi virtual dengan tidak mempertimbangkan konsepsi tentang moral etis. Misalnya, dengan mengumbar hal-hal yang sifatnya rahasia tanpa memikirkan persoalan norma, etika dan lainnya.
Bukan hanya itu, berbagai permasalahan muncul di dunia digital. Olehnya, internet dengan segala kedigdayaannya tetap membutuhkan kontrol, pengelolaan, dan otoritas yang bajik. Hingga akhirnya, di tahun 2008, untuk pertama kalinya Indonesia memiliki regulasi yang secara khusus berfokus pada upaya untuk mengatur dan menertibkan dunia maya. Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik (UU ITE) yang kemudian direvisi menjadi UU No. 19 tahun 2016 adalah regulasi khusus yang dimaksud. Butir (a) dalam salinan revisi UU ini menekankan bahwa kehadirannya adalah untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Namun bagaimana faktanya. Tegasnya.
Semenjak kemunculannya, UU ini dipenuhi pro kontra. Potensi “pasal karet” bahkan telah digaungkan oleh banyak suara sejak awal. Misalnya, UU ini gamang dalam memisahkan yang mana ujaran kebencian dan yang mana kritik atau sekadar menyebarkan informasi yang sebenarnya. Ada banyak ragam interpretasi yang pada akhirnya membuat orang berakhir di jeruji besi. Pungkasnya.
“Ruang Antara sebagai yayasan, ruang alternatif yang berfokus pada pengkajian isu komunikasi tergerak untuk menggelar kegiatan dengan tema tema besar 'Aku, Kita, dan UU ITE',” tandasnya.
Kegiatan ini terdiri atas display data “Aku, Kita, dan UU ITE” dan Talkshow dengan tema “Hak Digital: Apa yang Perlu kita Tahu?”.
Kegiatan menghadirkan Fajlurrahman Jurdi (Akademisi Universitas Hasanuddin), Abdul Azis Dumpa (Kepala Divisi Hak Sipil dan Politik, LBH Makassar), Dr Ramsiah Tasruddin (Akademisi/Penyintas UU ITE), dan Ayu Adriyani S.Sos., M.Sc (Direktur Ruang Antara) dimoderatori oleh Mariesa Giswandhani, S.Sos., M.I.Kom. selaku akademisi (Universitas Fajar) dan Koordinator Riset Ruang Antara. (rls)