Tapi bukan itu yang penting. Mahasiswa menjadi tidak lagi hanya berorientasi pada buku. Atau teori. Ketika lulus S1 mereka juga sudah pernah belajar di kehidupan nyata.
Maka kampus-kampus kini sangat sibuk untuk merumuskan detil kebijakan itu. Terutama dalam mengatur kembali dosennya.
Misalnya soal tiga semester itu. Baru dua semester yang disebut harus bekerja di luar kampus. Yang satu semester lagi belum dijelaskan untuk apa.
Demikian juga kegiatan di luar kampus itu ternyata belum sepenuhnya boleh merdeka. Masih harus mendapat persetujuan universitas --bahkan persetujuan Kemendikbud.
Kemendikbud pun masih akan sangat sibuk. Termasuk menilai kembali banyak kebijakan lama. Misalnya apakah penentuan rasio jumlah dosen-mahasiswa yang ada sekarang masih relevan.
Begitu banyak detil yang harus dibahas di kampus. Misalnya pada semester berapa mahasiswa boleh 'kuliah' di luar kampus. Di awal? Pertengahan? Akhir?
Lalu berapa SKS yang mereka peroleh selama 'kuliah' di luar kampus itu. Lalu bagaimana cara menilai mereka.
Tapi itu semua tidak akan sulit. Sudah banyak contoh di negara maju. Tinggal meniru mereka saja. Atau menyesuaikannya.
Yang sulit mungkin mencari 'tempat kuliah' itu. Di Indonesia perbandingan banyaknya mahasiswa dengan tempat usaha tidak sebagus di negara maju.
Mahasiswa di Indonesia akan banyak yang mengalami kesulitan berebut tempat kerja atau magang. Tapi kesulitan itu baik juga --untuk menguji kegigihan mahasiswa dalam berjuang sejak muda.
Bagi mahasiswa ilmu sosial dan politik mungkin punya banyak tempat --kalau mereka diizinkan praktek menjadi tim sukses para calon kepala daerah. Atau tim sukses para calon anggota DPR. Atau menjadi asisten para anggota DPR/DPRD.