Apalagi, budaya di AS lebih menyukai kemandirian dan karena itu secara pribadi pun mereka akan berjuang untuk bisa keluar dari jerat kemiskinan.
Sebagian orang mungkin menganggap bahwa menjadi miskin adalah ‘takdir’. Namun, ‘takdir’ seperti itu bisa diubah, meskipun tentu membutuhkan waktu, sumber daya dan keberanian dari pengambil kebijakan.
Di AS, isu kemiskinan, khususnya tuna wisma, telah menjadi isu nasional sejak tahun 1870-an. Hal ini meningkat dengan peristiwa Depresi Ekonomi 1930-an yang menyeret jutaan orang ke jurang kemiskinan. Itu artinya, AS telah meramu berbagai macam kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan setidaknya selama 150 tahun terakhir.
Lalu, apa yang bisa kita refleksikan dengan model pengentasan kemiskinan di negeri kita? Model pendekatan yang selama ini dilakukan pemerintah dimulai dengan pendataan, pembinaan dan pemberian bantuan material oleh pemerintah kepada orang miskin.
Usaha ini tentu harus diapresiasi dan didorong agar kualitasnya terus meningkat dengan pengkajian yang dilakukan secara rutin. Hal yang lebih penting dari itu semua adalah mengubah pola pikir manusia.
Tugas kita semua untuk mendidik masyarakat agar memiliki keinginan kuat untuk berubah, memiliki mentalitas mandiri dan tidak bergantung pada orang lain jika masih memiliki sumber daya untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Jika mentalitas ini telah terbentuk dan menjadi pikiran umum pada masyarakat kita, serta telah menjadi filosofi dalam tata kelola yang dijalankan oleh pemerintah, saya kira kita telah berada pada arah yang benar untuk mengurangi kemiskinan dan mendorong peningkatan kesejahteraan dengan cepat. (*)