Oleh Dahlan Iskan
FAJAR.CO.ID-- Saya menghubungi teman di Oman. Saya minta tolong padanya untuk mengadakan kontak ke Kuwait. Soal azan yang bunyinya berubah itu. Yang beredar luas di media sosial: apakah itu bukan hoax.
”Itu benar. Bukan hoax. Saya sudah konfirmasi ke Kuwait,” ujarnya.
Video itu diambil pada tanggal 13 Maret lalu. Hari Jumat. Di ibu kota Kuwait, Kuwait City.
Bunyi azan itu (panggilan salat dari menara masjid dengan menggunakan pengeras suara) memang terasa aneh. Khususnya ketika tiba di kalimat ”marilah datang untuk salat” (hayya alash-shalah). Hari itu bunyi kalimat tersebut menjadi ”salatlah, di rumah masing-masing” (shollu fi buyutikum).
Seumur hidup baru sekali ini saya mendengar azan seperti itu.
Saya lantas membayangkan: kalau misalnya itu dilakukan di Indonesia alangkah ributnya. Bisa-bisa dinilai anti Islam atau menghancurkan Islam.
Jangankan sampai ke soal azan. Anjuran saya ke grup senam di lingkungan saya sendiri saja sudah dipertanyakan. Padahal itu hanya anjuran agar untuk sementara jangan salaman. Jangan pula cipika-cipiki.
”Salaman itu kan sudah identik dengan budaya Islam,” katanya. ”Apakah nanti tidak berakibat merenggangkan silaturahmi antarorang Islam,” tanya anggota senam yang rajin itu --dengan latar belakang pendidikan S-2.
Tentu saya membenarkan salaman itu ciri khas orang Islam --di Indonesia. Untung ada seorang ustaz terkenal di grup senam saya itu. Maka saya minta tolong beliau saja yang menjawab: adakah ayat Quran atau Hadits yang mewajibkan salaman.