Jangan-jangan dulunya, orang zaman dulu, sulit mengucapkan salam ("assalamu alaikum…"). Lalu ucapan itu dinyatakan dengan dalam bentuk bersalaman (berjabat tangan).
Saya punya teman Tionghoa. Ia ingin sekali bisa mengucapkan salam itu di depan umum. Saya diminta untuk melatihnya. Saya merasakan betapa sulit --dan lama-- latihan untuk bisa mengucapkan salam itu.
Seperti juga orang dulu yang tidak bisa mengucapkan doa panjang. Apalagi doanya harus dalam bahasa asing/Arab. Misalnya doa agar diberi rezeki yang banyak (luwih-luwih). Maka doa itu diwujudkan saja dalam sajian makanan. Yang di dalamnya harus ada lauk berupa sayur dari kluwih.
Saya tidak perlu menjelaskan asal usul salaman. Pasti komentar pembaca DI’s Way di bawah nanti akan lebih lengkap dan lebih benar. Saya sering kagum membaca komentar di DI’s Way. Bagus-bagus. Sering juga membuat saya terbahak. Hanya sesekali bikin mata saya mlerok --ingat lagu 'Ojo Dipleroki'.
Bagi saya tidak salaman itu bukan baru. Selesai operasi ganti hati dulu saya juga menghindari salaman. Selama dua tahun. Tentu juga tidak melakukan banyak hal lain yang bisa membuat virus dan bakteri mendekat ke saya.
Waktu itu, 13 tahun lalu, imunitas badan saya diturunkan secara drastis. Agar hati baru yang menggantikan hati saya yang asli tidak ditolak oleh sistem di tubuh saya.
Covid-19 akhirnya memang lebih serius dari yang diperkirakan banyak ahli. Sedikit yang membayangkan sampai menjadi pandemik. Semula dikira akan sebatas epidemik.
Bahkan, siapa sangka, sampai menyentuh praktik keagamaan --semua agama. Termasuk penutupan semua gereja di Italia.