Berlaku dan bisa diterapkannya suatu UU tidak ditentukan peraturan di bawahnya (PP). Kecuali ada ketentuan yang mengatur secara tegas. Idealnya UU Nomor 16/2018 sudah dilengkapi PP sebagai pelaksana.
“Tapi saat ini kondisinya jauh dari ideal dan mendesak perlu kebijakan tegas pemerintah pusat,” ungkapnya.
Ketidaktegasan pemerintah pusat selama ini mengakibatkan sejumlah kepala daerah berani mengambil inisiatif masing-masing menerapkan local lockdown. Meskipun menurut UU Karantina Kesehatan pasal 49 -terlepas dari perbedaan istilah- penetapan tersebut merupakan wewenang pemerintah pusat.
Sehingga ini menandakan, kebijakan pusat gagal memotret kecemasan dan kenyataan di daerah. Pemerintah pusat bahkan kehilangan wibawa dan kepercayaan dari publik dalam penanganan Covid-19.
“Pemerintah Pusat kebanyakan dagelan, buang-buang waktu dua bulan lebih, pernyataan menteri-menteri tertentu juga dianggap menyesatkan,” katanya.
Di tengah keterbatasan kewenangan, sejumlah kepala daerah, seperti Papua, Tegal, Tasikmalaya, Toli-Toli, Payakumbuh dan Aceh, berani mengambil risiko untuk keselamatan warga mereka di atas kepentingan lainnya.
Banyak daerah tak siap dengan penanganan medis baik fasilitas rumah sakit, APD (alat perlindungan diri) dan sarana prasarana lainnya. Sementara jumlah pasien meningkat secara eksponensial.
“Pemerintah pusat bahkan gagap dalam menyediakan sarana paling dasar seperti APD bagi dokter dan tenaga medis,” tegasnya.
Sikap serupa harusnya juga dimiliki Presiden Jokowi sebagai kepala negara. Tidak perlu menunggu jumlah korban lebih banyak, baru kemudian melakukan karantina wilayah. Dampak ekonomi akibat kebijakan tersebut, bagaimanapun lebih mudah dikontrol karena kasat mata, daripada akibat penyebaran virus yang tidak kasat mata.