FAJAR.CO.ID -- Penyebaran virus corona atau Covid 19 yang masif dan sulit dideteksi membuat pemerintah benar-benar bekerja keras mengatasinya. Sejauh ini, kebijakan untuk mengatasi wabah adalah melakukan rapid test dan pembatasan fisik (physical distancing).
Andi Cibu Mattingara selaku Kadiv Kampanye dan Perluasan Jaringan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Sulawesi Selatan mengkritisi rencana kebijakan selanjutnya yang akan diambil Presiden Jokowi untuk menangani wabah Covid-19, yakni menetapkan darurat sipil. Dia mempertanyakan hubungan darurat sipil dengan pandemi virus Corona di Indonesia. Pasalnya, status darurat sipil atau militer merujuk pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya.
Jika penetapan darurat sipil oleh presiden maka secara tidak langsung menggunakan Perppu Nomor 23 Tahun 1959 sebab payung hukum darurat sipil diatur dalam Perppu tersebut.
"Akan tetapi, darurat sipil dalam Perppu itu tidak sejalan dengan kondisional saat ini, karena Perppu itu mempunyai basis history yang berbeda dengan situasi saat ini, yang secara historynya adalah darurat militer terhadap masa peperangan. Oleh karena itu Perppu No 23 Tahun 1959 memiliki semangat militeristik dan tersentral kepada pemerintah pusat sebagai penguasa darurat sipil/militer," urai Andi Cibu.
Dengan demikian, lanjutnya, hal inilah yang berbahaya sehingga penggunaan Perppu mesti hati-hati, sebab dapat mengancam kehidupan masyarakat. Belum lagi dalam Perppu tersebut tidak diatur secara detail mengenai hak-hak warga negara.