حَتَّى أَخَذَ الرَّايَةَ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِ اللَّهِ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
Kemudian bendera itu diambil oleh Pedang di antara Pedang Allah (yaitu Khalid) dan Allah menjadikan mereka (kaum Muslim) menang (HR. Bukhari no. 4262).
A.I. Akram, penulis biografi Khalid bin Walid, menjelaskan bahwa “Mu’tah bukanlah pertempuran besar; itu juga bukan pertempuran yang sangat penting. Tapi itu memberi Khalid kesempatan untuk menunjukkan keahliannya sebagai komandan; dan ia mendapat gelar Pedang Allah (Saifullah) karenanya.”
7 tahun kemudian, sang Pedang Allah dipercaya memimpin pasukan Islam untuk menghadapi pasukan Bizantium di daerah dekat sungai Yarmuk—perbatasan antara Suriah dan Yordan. Menghadapi pasukan yang berjumlah 4 sampai 7 kali lipat lebih besar, Khalid tidak gentar. Seperti sebelumnya, ia mengandalkan kecerdikan guna menyiasati kalah jumlah.
Mengandalkan pasukan berkuda yang gesit dan pemilihan waktu serta tempat pertempuran yang ideal, Khalid berhasil memenangkan Pertempuran Yarmuk tepat pada hari ini, 1383 tahun yang lalu.
Dalam bukunya, Islam at War, sejarawan militer George Nafziger menjelaskan pentingnya Pertempuran Yarmuk dalam perjalanan sejarah dunia:

“Walaupun tidak begitu dikenal hari ini, [Pertempuran Yarmuk] adalah salah satu pertempuran yang paling menentukan dalam sejarah manusia. Dengan kemenangan ini, Islam menjadi agama yang dominan di seluruh Timur Tengah modern. Palestina dan Suriah menjadi negara-negara Muslim. Jalan ke Mesir pun terbuka, dan melalui Mesir dan Suriah, para khalifah memperoleh kekuatan angkatan laut untuk menyebarkan agama dan kekuasaan mereka di seluruh Mediterania selatan, hingga ke Spanyol. Seandainya pasukan Heraclius [Bizantium] menang, dunia modern mungkin tidak seperti ini. Pemerintah dan rakyat Suriah, Yordania, Israel, dan Mesir akan sangat tidak seperti sekarang ini.”