Cerita Dibalik Ruang Perawatan Covid 19
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Tantangan berat dalam menangani pasien COVID-19 bukan hanya dialami oleh dokter, namun juga dirasakan para perawat yang ditempatkan khusus di bangsal Covid-19 lantai 5 RS UNS.
Para perawat ini harus super sabar menghadapi tingkah laku pasien yang tak jarang menguras kesabaran mereka. Meski demikian, para perawat memiliki cara agar bisa beradaptasi dengan pasien. Salah satunya dengan memosisikan diri sebagai keluarga baru para pasien yang dirawat di bangsal khusus tersebut.
“Pengalaman selama menangani pasien Covid-19 ini sangat beragam. Mungkin kalau digolongkan ada dua. Pasien muda dan yang berusia lanjut,” ujar Kepala Ruang Isolasi Covid-19 RS UNS Wahyu Jati Friandani.
Di bangsal yang berisi 42 tempat tidur pasien itu, dia bersama sejumlah perawat lainnya harus melayani para pasien di berbagai ruangan berbeda. Mulai dari pasien berstatus ODP dan PDP maupun pasien terkonfirmasi positif korona. Tentu ini bukan perkara mudah, mengingat pribadi masing-masing pasien berbeda antara satu dengan lainnya.
Kadang harus menghadapi pasien ngambek tidak mau makan dan minum obat, hingga pasien ngamuk karena kangen keluarga. Dalam situasi seperti ini tidak ada cara lain kecuali harus beradaptasi dan bersabar dalam menghadapi berbagai tingkah laku pasien.
“Di bangsal Covid-19 ini ada beberapa ruang. Sebanyak 30 bed untuk pasien positif, 12 untuk ODP dan PDP, plus tambahan dua ruang ICU. Rata-rata penanganan pasien minimal 14 hari, namun bila kondisi memburuk atau bahkan terkonfirmasi positif bisa jauh lebih panjang masa perawatannya,” papar Jati.
Di masa perawatan panjang itu, kadang pasien benar-benar dalam kondisi baik meski belum diizinkan pulang karena harus menunggu serangkaian tes terakhir untuk melihat seseorang terkonfirmasi positif atau tidak. Dalam kondisi ini biasanya mental pasien dan tenaga kesehatan yang bertugas diuji. Karena saat seperti ini pasien makin tidak betah dan kadang memaksa ingin pulang.
“Kadang ada yang marah dan memaksa pengin pulang karena sudah tidak betah dirawat atau merasa sudah sehat. Tapi sesuai aturan memang tidak boleh dan harus menunggu hasil tes yang terakhir itu,” kata dia.
Berdasarkan pengalaman menangani pasien di bangsal khusus korona, dia kerap menemukan pasien marah. Seperti kejadian seorang pasien lanjut usia (lansia) berusia 70 tahun. Parahnya, si kakek yang satu ini suka melempar barang mulai dari botol minum pasien, hingga tempat makan disposable (sekali pakai) beserta isinya.
“Jadi si kakek ini marah karena harus dirawat. Awal masuk itu si kakek sudah ngambek dan tidak mau makan dua hari dan enggan dipasang selang makan. Saat itu si kakek melempar barang-barang. Padahal perawatnya cewek semua,” jelas dia.
Kemarahan si kakek baru mereda usai dihubungkan dengan pihak keluarga. Kebetulan di bangsal itu ada fasilitas handphone untuk membantu komunikasi perawat yang bertugas di dalam ruang isolasi dan di luar ruangan. Akhirnya fasilitas yang berfungsi untuk pendataan itu difungsikan untuk menghubungi keluarga si kakek. Setelah dibujuk pihak keluarga akhirnya dia mulai tenang.
“HP itu untuk membantu mendata berkas karena semua barang di ruang isolasi tidak boleh dibawa keluar ruangan. Jadi berkas-berkas pasien biasanya dilampirkan lewat HP itu. Terpaksa sementara buat komunikasi si kakek.
Akhirnya kami beri kelonggaran untuk komunikasi maksimal sehari sekali. Jadi keluarga kami minta datang di luar ruangan dan melakukan video call dengan pasien,” beber Jati.
Berbeda dengan pasien usia lanjut, sejumlah pasien yang masih muda juga memiliki kekhasan tersendiri. Mereka biasanya membawa HP di ruang isolasi agar komunikasi dengan keluarga bisa berjalan lancar. Pasien seperti ini lebih mudah.
“HP memang tidak dilarang dibawa pasien. Jadi mereka boleh pesan makanan asal tidak sedang pantangan untuk jenis makanan tertentu. Bedanya kalau pasien lansia ini kan rata-rata mereka tidak pegang HP jadi sering merasa kesepian. Di sini kami (para perawat) harus bisa memosisikan diri sebagai keluarga,” kata dia.
Meski melelahkan, para perawat harus tetap memberikan pelayanan sesuai sumpah profesi. Termasuk dalam menghadapi konsekuensi lainnya seperti jauh dari keluarga dan harus mengurangi interaksi dengan orang-orang sekitar.
“Kebetulan selama saya bertugas di bangsal ini saya putuskan tidak pulang ke rumah dulu. Sebelum ini biasanya seminggu sekali balik ke rumah orang tua. Sementara ini tinggal di kos saja dulu. Saya juga berupaya mengurangi interaksi dengan warga sekitar di luar lingkungan kos meski masyarakat menerima dengan baik keberadaan saya di sana. Keluarga juga mendukung tugas ini,” tutur perawat kelahiran Jumantono, Karanganyar itu. (ves/bun)