FAJAR.CO.ID -- Anggota Komisi VIII DPR RI, Bukhori Yusuf, mengungkapkan penerbitan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 494 Tahun 2020 tentang Pembatalan Keberangkatan Haji Tahun 1441H/ 2020 M memiliki dua kelemahan utama. Pertama, penerbitan KMA belum mendapat persetujuan DPR RI. Menurutnya KMA tersebut bertentangan dengan Pasal 47 UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Ketentuan tersebut berbunyi:
“Persetujuan DPR RI atas usulan BPIH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 diberikan paling lama 60 (enam puluh) Hari setelah usulan BPIH dari Menteri diterima oleh DPR RI,” kata Bukhari melalui rilis yang dikirim ke fajar.co.id, Selasa (2/6/2020) beberapa saat lalu.
Menurut Bukhori, selain terkait besaran biaya haji, domain persetujuan DPR RI juga terkait dengan persetujuan kuota jemaah haji, kuota petugas, dan kuota pengawas sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 28 UU No. 8/ 2019.
“Seharusnya sebelum KMA ini dikeluarkan harus mendapat persetujuan dulu dari DPR. Namun, sangat disesalkan bahwa Menteri Agama belum melaksanakan raker dengan Komisi VIII, khususnya terkait pembatalan ini. Oleh sebab itu, saya memandang tindakan Menteri Agama yang secara sepihak menerbitkan KMA melanggar Undang-Undang No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, khususnya pada Pasal 47” ungkap Bukhori di Jakarta, Selasa (2/6/2020).
Kelemahan kedua, lanjut Bukhori, penerbitan KMA bertentangan dengan Pasal 20 UU No.34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Pada ketentuan Pasal 20 UU No.34/2014 disebutkan: