Indonesia negara agraris. Wajar jika sektor pertanian dan perkebunannya tumbuh positif. Tetapi, tidak dengan bawang putih. Si putih subur di tangan kapitalisme.
FAJAR.CO.ID -- Ironis memang. Bawang putih tak sesubur dahulu. Seperti era 1990-an. Rasa khas si putih produksi lokal sangat terasa. Catatan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) hanya bertahan hingga tahun 1997. Bawang putih bisa diproduksi masif sesuai kebutuhan.
Kala itu, puncak produksi bawang putih nasional tembus 152 ribu ton dengan luas lahan 21.896 hektare. Dengan hitungan penduduk 150 juta orang, konsumsinya 0,5 kilogram per kapita per tahun. Paling banter cuma perlu 90 ribu ton saja sudah cukup untuk kebutuhan domestik. Bahkan surplus. Bisa diekspor.
Kondisi itu kini berputar 360 derajat. Jangankan untuk ekspor, mencukupi kebutuhan bawang putih dalam negeri yang angkanya naik menjadi 450 ribu hingga 500 ribu ton per tahun (penduduk 260-an juta jiwa) itu kini makin megap-megap.
Pantas jika Indonesia disematkan julukan sebagai raja impor bawang putih. Bawang putih dikuasai kelompok kapitalis. Kaum bermodal. Sebab, 90 persen bawang putih yang beredar di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan merupakan produk impor. Bukan hasil para petani lokal. Sebuah ironi.
Jika menilik sejarah dan Indonesia sebagai negara agraris, tetapi produksi nasional bawang putihnya hanya 88.816 ton per tahun (data tahun 2019). "Ya, alih fungsi lahan yang terjadi seiring perjalanan waktu. Pendampingan petani hingga pembibitan yang kurang baik, menjadi akumulasi kondisi sekarang," nilai Dosen Pertanian Universitas Muslim Indonesia (UMI), Ayu Kartini Parawansa, kemarin.