Dari situlah wacana pembubaran OJK bermula. Dari kemarahan. Ini seperti hukum karma saja. OJK dulu dibentuk juga oleh kemarahan. Ketika pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia kurang baik. Puncaknya terjadi skandal Bank Century.
Fungsi pengawasan Bank Indonesia dianggap lemah. Maka perlu dibentuk lembaga di luar BI, khusus untuk memperkuat pengawasan. Terbentuklah OJK itu. Ternyata masih terjadi skandal seperti Jiwasraya.
Inggris menjadi contoh pemisahan. Waktu itu, Inggris memang memisahkan antara fungsi pengaturan moneter dan pengawasan bank. Padahal Inggris adalah Makkah-nya keuangan dunia. Mengapa tidak diikuti saja.
Akhirnya, pada 2013, kita ikut Inggris. Terbentuklah OJK.
Lucunya Inggris berubah sikap. Di tahun 2013 itu Inggris kembali menyatukan fungsi pengawasan ke bank sentralnya.
"Jangan lupa," ujar Burhanuddin Abdullah dalam Zoominar yang diselenggarakan Narasi Institut tadi malam. "Di tahun itu juga Inggris kembali menggabungkan kembali fungsi pengawasan ke dalam Bank Sentralnya".
Meski ia mantan Gubernur Bank Indonedia, Burhanuddin tidak terlihat memihak. Hanya saja "Kalau toh OJK mau dibubarkan jangan sekarang," ujarnya. "Saat ini kan lagi terjadi krisis. Jangan bikin keputusan yang menimbulkan ketidakpastian," katanya.
Saat ini Burhanuddin berusia 72 tahun. Tokoh asal Garut lulusan Universitas Padjadjaran dan Michigan ini mengaku tidak banyak tahu lagi perkembangan kelembagaan keuangan di Indonesia.
Ibarat kapal yang lagi berlayar, kapal itu lagi diguncang badai. Janganlah di saat kapal lagi oleng justru kita hantam dengan pukulan.