“Mungkin karena saya punya perjalanan hidup di dunia jurnalistik selama belasan tahun. Kami biasa bekerja cepat dan pragmatis “
FAJAR.CO.ID -- Pertama kali menjadi Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU), Aidir Amin Daud bertanya kepada jajarannya. Apa masalah paling rumit yang belum terpecahkan? Kepadanya dilaporkan, ada sekitar 29 ribu surat yang belum terkirim. Mengapa? Sang staf menjawab karena setiap hari minimal ada 500-an surat keputusan yang diterbitkan.
Mendengar jawaban itu, Aidir tertawa. Dia lalu menceritakan bagaimana Haran Fajar yang tebalnya setara 50 surat, beroplah 40 ribuan dengan langganan sekitar 20 ribuan, selesai dicetak jam 4 subuh dan rata-rata jam 6 pagi sudah bisa tiba di rumah pelanggannya. Ia
menceritakan juga bagaimana Harian Kompas yang dicetak ratusan ribu, dalam 2 jam sudah tiba di rumah pelanggannya.
“Kalau gitu saya pinjam saja orang Fajar untuk atur surat ini. Tapi coba dulu selesaikan seminggu,” perintah Aidir.
Minggu depannya tumpukan surat itu terkirim habis. “Beliau bilang ke kita, ternyata selama ini karena tak dicoba saja,” kenang seorang stafnya.
Ketika diangkat menjadi Direktur di tahun 2007, ia dipanggil Sekjen Kemenkumham Zulkarnaen Yunus. Sekjen menyampaikan, untuk verifikasi partai politik pada tahun 2008, direktoratnya sudah menyiapkan
anggaran Rp40 miliar. Aidir kaget dengan jumlah itu. Namun kepadanya diberitahu bahwa tahun 2003 verifikasi Parpol menghabiskan dana Rp32miliar - termasuk Rp10 miliar pembelian mobil untuk Kanwil. Aidir mengumpulkan jajarannya dan bertanya, diapakan dana segitu banyak?
Dijelaskan, tim akan diturunkan ke daerah mengecek: apakah Parpol punya kantor, punya papan nama, punya telepon/mesin faxmile dan sebagainya.
Aidir menyayangkan hal itu. Seharusnya pekerjaan seperti itu dilakukan oleh petugas meteran PLN dan PDAM. Ia menyayangkan kalau eselon-2 dan jajaran ke bawahnya melakukan kegiatan itu. Bagi Aidir, Parpol harusnya yang mengecek dirinya sendiri. Namun jajaran Aidir menyatakan lagi bahwa itu bunyi Undang-Undang parpol,
“Kemenkumham melakukan verifikasi substantif.” Bertahan dengan gagasannya tak perlu turun ke lapangan seperti tahun 2003 dan yakin verifikasi versi dirinya akan lebih baik, Aidir bertanya, harus bagaimana
bunyi undang-undang? Ia disarankan mengganti kata ‘substantif’ dengan kata ‘administrasi’. Bersamaan saat itu,revisi undang-undang Parpol sedang dibahas di DPR-RI. Aidir menyampaikan gagasannya ke Dirjen
AHU yang saat itu dijabat Dr Syamsuddin Mannan Sinaga.
Mendapat persetujuan, Aidir menemui Ketua Pansus RUU Parpol di DPR saat itu, Ganjar Pranowo (sekarang Gubernur Jateng). Perubahan pasal dilakukan. Verifikasi parpol versi Aidir dilaksanakan, hasilnya tidak ada protes satupun padahal lebih dari 50 parpol dinyatakan ‘tidak
lolos’. Duit yang digunakan hanya Rp 450 juta atau sekitar 1,5 persen dari dana verifikasi di tahun 2003.
“Waktu itu Menteri memberi pujian di depan semua pejabat Kementerian, apa yang dilakukan oleh jajaran Direktorat Tatanegara adalah contoh cara kerja yang cerdas dan efisien,” kenang Tehna Bahna Sitepu -- Direktur Tatanegara -- yang saat itu masih menjabat kasubdit.
Di jajaran Direktorat Jenderal AHU, Aidir meninggalkan begitu banyak legacy. Ia bersama jajarannya merevolusi semua pelayanan publik yang ada. Pelayanan pendaftaran fidusia yang tadinya bisa selesai sebulan, seminggu dibuat online dan selesai dalam waktu sekitar 5
menitan. Pemesanan nama badan hukum yang diproses selama berhari-hari, berminggu-minggu dibuatnya menjadi 5 menit. Begitu juga dengan pendaftaran badan hukum (PT, Yayasan dllnya). Ia mempercepat proses
dan menghilangkan semua kemungkinan melakukan KKN.
“Kelancaran ternyata membawa berkah, dari pemasukan PNBP yang tadi hanya Rp50 miliar melompat mencapai angka Rp 700 miliar di tahun 2014,” jelas seorang stafnya.
Hasil kerja Aidir akhirnya dikenal banyak pihak. Bahkan dirinya seringkali diundang ke berbagai pertemuan mancanegara, baik yang dilaksanakan World Bank maupun lembaga lainnya, untuk menjelaskan capaiannya itu.
Tak hanya jajaran di Kemenkumham yang tahu ‘gaya’ kerja Aidir yang cepat itu. Ketika pada Mei 2013. Kementerian lain pun tahu reputasi Aidir. Saat ada ancaman pemerintah Arab Saudi akan menangkap ribuan
WNI yang tak memiliki identitas diri, Deplu RI dan Kemenakertrans RI diperintahkan menyiapkan segala sesuatunya. Ternyata dokumen utama yang harus disiapkan adalah status kewarganegaraan adalah: surat Status WNI dari Ditjen AHU dan paspor RI dari Ditjen Imigrasi.
Direktur Perlindungan WNI Deplu Tatang Razak (kini Dubes RI di Kuwait) yang sedang melaksanakan rapat, mengusulkan menghubungi Aidir untuk mengatur tim dari Kemenkumham termasuk imigrasi.
Tatang me-louds-speaker handphonenya agar semua peserta rapat mendengar. Tatang menyampaikan ke Aidir, bahwa ada situasi darurat di Arab Saudi menyangkut warga Indonesia yang harus ditangani segera.
Aidir tanpa melihat kemungkinan anggaran, spontan menjawab. “Kalau keputusan dan arahannya gitu, minggu ini juga kita kirimkan 10 orang pejabat AHU dan 10 orang pejabat Imigrasi.”

Sesudah menutup telpon Aidir langsung menghadap Menteri Amir Syamsuddin dan melakukan koordinasi dengan Dirjen Imigrasi Bambang Irawan. Empat hari kemudian, tim sudah bekerja di Jeddah.
Ketika ditanya, mengapa ia bisa menjadi bagian utama dari perubahan di Kementeriannya dan bisa bekerja dengan gaya cepat seperti itu, Aidir menjawab, “Mungkin karena saya punya perjalanan hidup di dunia jurnalistik selama belasan tahun. Kami biasa bekerja cepat dan pragmatis.”
Sebelum menjabat sebagai birokrat, nama Aidir cukup tenar dikalangan wartawan. Dia sulit dilepaskan dari rentetan sejarah jurnalis di Makassar. Pria kelahiran 1 November 1958 ini memegang peranan penting khususnya pada dekade 1990-an. Aidir menjadi salah satu ikon jurnalis. Daya nalar dan tingkat kematangan dalam menelaah isu yang berkembang menjadi modal utama Aidir. Dia adalah alumnus Fakultas Hukum Unhas dan juga tercatat sebagai dosen di Kampus Merah itu.
Mantan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Fajar ini pun malang melintang di dunia jurnalistik. Soal kiprahnya sangat banyak yang harus diulas.
Termasuk kengototan Aidir dan kemampuan menembus narasumber, membangun jaringan, dan ketekunannya. Aidir bahkan terlibat dalam banyak kesempatan memberikan kontribusi pada pengembangan media
lokal di Makassar.
Dia memainkan peran penting di daerah yang menjadi salah satu sumbu informasi nasional selain Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, dan Medan. Pemikirannya dalam dunia jurnalistik pun banyak ditunggu. Lugas,
dengan bahasa sederhana dan mampu memaparkan fakta dengan runtut.
Sosoknya tak lagi ada di dapur redaksi. Dia menjelma menjadi birokrat hingga ke level nasional. Bergabung dalam payung Pengayoman, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Dari semula menjadi Direktur Tata Negara Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) pada 2007. Kemudian 2009, dia ditunjuk menjadi pelaksana tugas Dirjen AHU dan setahun kemudian menjadi pejabat defenitif Dirjen AHU (2010). Sikapnya yang tegas dengan naluri kewartawanan dalam dirinya, maka pada 2015, dia ditunjuk menjadi Inspektur Jenderal (Irjen) Kemenkumham. Itu artinya, dia sudah memegang kendali Kemenkumham di bawah menteri.
Keberhasilan mengawal implementasi program pelayanan publik yang bersih dan melayani di lingkungan Kemenkumham membuatnya mendapat banyak kepercayaan. Dia pun sempat diminta langsung
Men-kumham, Yasonna Laoly untuk merangkap sementara Dirjen AHU bersama dengan jabatannya saat ini yakni Irjen. Alasannya jelas, Aidir dianggap sangat tepat dan memberikan bukti kinerja maksimal selama ini.
Doktor Hukum dari Universitas Hasanuddin ini menyebut, jiwa wartawan menjadi penyemangat dirinya. Naluri kritis dengan berbasis pada fakta di lapangan membuatnya sangat terbantu dalam menganalisa dan melahirkan kebijakan. Dia sendiri menyebut, jiwa jurnalisnya tetap ada pada dirinya. Dia bahkan merasa ketagihan untuk terus menulis.
Oleh karena itu, tulisan Aidir hingga saat ini masih sering terpajang di Fajar dan kolumnis di beberapa media lain.
Salah satu yang menjadi target Aidir saat ini adalah membersihkan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dari pelanggaran seperti keberadaan senjata tajam dan narkoba. Jabatan Irjen Kemenkumham yang dia pegang
merupakan tantangan dan dia akan berusaha menunjukkan kinerjanya.
Aidir memang dikenal sebagai sosok pekerja keras. Karakter ini pula yang membuatnya bisa sampai pada pencapaian seperti saat ini. Pemuda yang mengawali karier sebagai wartawan akhirnya mampu menjadi
seorang birokrat yang tegas dan bisa diandalkan.
Namun, dari semua itu, Aidir merasa menjadi seorang jurnalis itu memiliki nilai tersendiri. Mampu mengaktualisasikan diri secara bebas dan memiliki jaringan yang luas. Bahkan saat ditanya, lebih enak mana
menjadi wartawan dibanding seorang pejabat publik? Aidir spontan menjawab lebih enak jadi wartawan. Hanya saja, dalam setiap hal perlu ada regenerasi. Kemudian seiring dengan umur yang bertambah, maka
tongkat estafet itu harus diberikan kepada generasi selanjutnya. Namun, jika mengenang masa ketika dia bergelut dengan liputan, aktivitas di redaksi dan kebebasan memotret semua kejadian kemudian dibuat dalam produk jurnalistik menjadi sebuah pengalaman tersendiri.
Itulah Aidir. Seorang birokrat yang akan selalu rindu profesi akarnya, wartawan. (aci/sumber: Buku 100 tokoh sulsel)
DATA DIRI
Dr. H. Aidir Amin Daud, S.H., M.H.
Kelahiran: 1 November 1958
Riwayat Pendidikan
: S1, S2, dan S3 di Unhas
Riwayat Pekerjaan:
• Mantan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Fajar
• Dosen di Fakultas Hukum Unhas
• Direktur Tata Negara Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) pada 2007
• Dirjen Administrasi Hukum Umum 2010.
• Inspektur Jenderal (Irjen) Kemenkumham 2015-sekarang