FAJAR.CO.ID, GOWA -- Masih ada cerita di balik kesengsaraan warga di Dusun Malenteng, Desa Erelembang, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa.
Di tengah hamparan sawah yang luas dan hasil pertanian yang melimpah, petani justru meminta pengaspalan jalan di dusun tempat tinggalnya itu.
Hasil bumi khas dusun itu seperti beras merah, kopi, tomat, dan aneka sayur mayur di sana terbilang murah. Jalanan berlumpur membuat masyarakat luar enggan masuk ke dusun tersebut untuk membeli.
"Harga beras merah kadang turun menjadi Rp8 ribu per liter. Itu pun harus dikurangi biaya angkut pakai mobil Rp3 ribu. Mobil itu pun harus didorong warga jika terjebak lumpur," kata Kepala Dusun Malenteng, Andi Anjas Tamara, Senin (20/7/2020).
Tak hanya beras merah yang menjadi khas di dusun itu. Ada juga kopi yang menjadi sumber ekonomi warga di sana.
Terkadang, harga kopi tertinggi di sana sebesar Rp5 ribu per liter. Namun saat ini, petani harus pasrah karena harganya menurun di angka Rp3 ribu per liter.
"Semua hasil tani di sini harus diangkut pakai mobil lewat jalanan berlumpur. Sementara harga hasil tani kami turun karena tidak ada pembeli yang masuk ke dusun kami, karena jalanan lumpur itu," jelas alumni UNM ini.
Semua hasil panen di sana terkendala akibat infrastruktur jalan di sana yang tak kunjung diperbaiki. Bahkan dusun tersebut disebut-sebut tempat bersejarah.
Anjas Tamara mengungkapkan, sejak zaman dulu, dusun tempat tinggalnya ini adalah tempat persembunyian para pribumi dari siksaan para tentara Belanda.
"Menurut nenek moyang kami seperti itu. Apalagi dusun ini adalah wilayah paling ujung di Kabupaten Gowa. Bahkan sudah berbatasan dengan Maros dan Bone," tambahnya.
Masyarakat yang ingin berkunjung ke dusun ini, harus menempuh jarak sekitar 93 kilometer lebih. Ditambah medan jalan seperti tanjakan, turunan, jalanan becek, bahkan hutan belantara yang sangat gelap tanpa pencahayaan. (Ishak/fajar)