FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Terpidana kasus hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra meminta agar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dapat menggelar sidang permohonan Peninjauan Kembali (PK) digelar secara daring atau teleconference. Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menilai, permintaan sidang melalui teleconference adalah bentuk penghinaan lembaga peradilan.
“Sidang daring perkara pidana yang selama ini sudah berlangsung adalah terhadap terdakwa yang berada di Indonesia, baik ditahan atau atau tidak ditahan serta bukan buron. Jadi permintaan sidang daring oleh Djoko Tjandra jelas-jelas bentuk penghinaan terhadap pengadilan, sehingga sudah semestinya ditolak oleh hakim,” kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman dalam keterangannya, Selasa (21/7).
Boyamin menjelaskan, selama pandemi Covid-19 sebagian besar sidang perkara pidana memang digelar secara daring. Namun, tegas Boyamin, sidang secara daring hanya berlaku bagi terdakwa yang berada di Indonesia, bukan buronan seperti Joko Tjandra.
Boyamin mengharapkan, PN Jaksel tidak lagi meneruskan persidangan, karena Djoko Tjandra telah secara nyata tidak menghormati proses persidangan. Apalagi, mengingat tindakannya selama ini yang kerap mengangkangi hukum di Indonesia.
“Di sisi lain diduga sakitnya Djoko Tjandra hanyalah pura-pura, karena senyatanya dia tidak opname di rumah sakit dan hanya surat keterangan sakit,” cetus Boyamin.
Oleh karena itu, Boyamin meminta PN Jaksel tidak lagi memberi kesempatan kepada Djoko Tjandra untuk mengulur-ulur waktu dengan klaim sakit. Boyamin juga meminta PN Jaksel tidak meneruskan persidangan dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung (MA).