FAJAR.CO.ID,JAKARTA -- Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Ruslan Buton dengan empat pasal berlapis terkait kasus surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi). Panglima Serdadu Eks Trimata Nusantara itu didakwa telah menyebarkan informasi kebencian dan berlebihan yang bisa menimbulkan keonaran.
Dakwaan pertama yakni Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ruslan didakwa telah menyebarkan informasi yang menebarkan rasa kebencian atau permusuhan kepada individu atau kelompok tertentu.
Dakwaan kedua, Ruslan dijerat dengan dugaan pelanggaran berita bohong sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dakwaan ketiga terkait menyiarkan berita yang bisa menimbulkan keonaran, yaitu Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Selanjutnya dakwaan keempat, Ruslan dijerat dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dia diduga melakukan perbuatan menyiarkan kabar tidak pasti, berlebihan atau tidak lengkap yang dapat menerbitkan keonaran.
Jaksa Abdul Rauf mengatakan, dugaan pelanggaran pidana Ruslan terdapat pada surat terbuka dalam bentuk suara yang dibuat untuk Jokowi. Ruslan membuat rekaman itu di rumahnya di Desa Matanauwe, Kecamatan Siotapina, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Rekaman itu berisi permintaan agar Jokowi mundur dari jabatannya sebagai presiden. Dalihnya untuk menyelamatkan bangsa dari bahaya komunis. Surat terbuka itu kemudian dikirim ke seorang wartawan untuk dipublikasi di situs www.indeks.co.id.
“Terdakwa mengirim rekaman suara tersebut melalui chat WhatsApp,” ujar Rauf dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (13/8).
Jaksa berpandangan surat terbuka itu bisa memantik terjadinya kerusuhan oleh pihak tertentu baik secara individu maupun kelompok.
“Mempengaruhi sikap masyarakat dengan menyebarkan kebencian atau memelintirkan kenyataan,” jelas Rauf. (jpc)