FAJAR.CO.ID, MAMASA-- Widya Handrini tak menyangka, pandemi virus corona (Covid-19) membuat kebiasaan sehari-harinya harus berubah. Tak terkecuali proses belajar mengajar yang sedang digelutinya.
Siswi kelas XI jurusan Agrobisnis Tanaman Pangan dan Hortikultura SMKN 1 Rantebulahan Timur, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat ini harus belajar daring (online) sejak bulan Maret.
Jika di waktu normal, dia bersama teman-temannya bisa berkumpul di sekolah untuk belajar bersama. Pandemi Covid-19 membuat sekolahnya ditutup dan mengharuskan Proses Belajar Mengajar (PBM) dilakukan secara daring.
Sayangnya, kendala infrastruktur dan ekonomi jadi batu sandungan PBM daring di SMKN 1 Rantebulahan Timur, Mamasa. Layanan internet belum menjangkau ke seluruh rumah siswa di pelosok.
Penyebabnya, tower provider dari Telkomsel hanya ada satu, sementara kontur pegunungan membuat jangkauan signalnya terbatas.
Jangankan berbicara soal ketersediaan internet, gadget atau smarphone saja tidak semua dimiliki oleh teman-teman Widya. Widya sendiri terpaksa mengandalkan gadget milik kakanya untuk mengikuti PBM daring.
"Paling terasa saat menjelang ujian semester bulan April kemarin. Tak jarang satu Hp dipakai oleh beberapa teman untuk mengirimkan jawaban ujian," katanya melalui sambungan telepon, Kamis (13/8/2020).
Beruntung Widya bersama teman-temannya mendapat subsidi kuota sebesar Rp400 ribu dari Dana BOS. Uang ini kemudian dimanfaatkan untuk membeli kuota internet Telkomsel.
"Kalau di sini jaringan yang ada itu cuma Telkomsel. Itupun tidak semua daerah, untuk menelpon saja susah dapat jaringan, apalagi internet. Kami harus ke puncak gunung tertentu," jelasnya.

Salah satu guru di SMKN 1 Rantebulahan Timur, Aris Munandar ikut mengisahkan perjuangan muridnya selama PBM daring berlangsung.
"Daerah kami masih terbelakang untuk dukungan telekomunikasi. Di setiap kelas, tak sampai separuh siswa yang punya gadget. Bagi sebagian siswaku, gadget masih berupa barang mewah bagi mereka," ungkapnya.
Masalah lainnya, siswa yang sudah punya gadget belum tentu punya kuota. Mereka hanya sesekali dalam seminggu bisa mengakses internet secara reguler.
"Sementara aplikasi belajar daring seperti Zoom butuh kuota besar. Selebihnya, siswaku daring dengan memanfaatkan akses gratis dari aplikasi Messenger Facebook atau WhatShap," sebutnya.
Kendati demikian, kondisi seperti ini bukanlah alasan bagi Aris menjalankan tugas sebagai pendidik. Selain memaksimalkan Messenger untuk pelaksanakan PBM daring, program #belajardarirumah oleh stasiun televisi pemerintah, TVRI, sekiranya juga jadi solusi bagi siswa saya agar tetap belajar di rumah masing-masing.
"Semoga para stakeholder bisa mencari solusi atas kondisi seperti ini, termasuk saya pribadi. Selain itu, saya juga ingin mempertanyakan program Pak Jokowi terkait internet masuk desa. Jangankan masuk desa, masuk ibukota kecamatan saja susah di tempatku Pak," pintanya.
Aris menyebutkan keberadaan jaringan Telkomsel di daerahnya sangat membantu meski terbilang terbatas. Sebagian siswa harus menempuh jarak 1-6 kilometer untuk mendapat jaringan internet.
Dirinya berharap, Telkomsel sebagai provider milik negara bisa meningkatkan kapasitas jaringan Kecamatan Rantebulahan Timur. Daerah yang berjarak sekitar 80 kilomter dari Ibukota Sulawesi Barat, Mamuju.
Sebagai salah satu daerah pedalaman di Sulawesi, jangankan telekomunikasi, akses transportasi pun masih terbelakang di Mamasa.
"Permintaan kami cuma itu, kalau bisa jaringan internet ditingkatkan. Terutama di sekitar sekolah kami yang hingga saat ini belum bisa mengakses internet," pungkasnya. (mirsan/fajar)