Ketiga, lanjut Ledia, FPKS memandang RUU Ciptaker ini tidak tepat membaca situasi, tidak akurat dalam diagnosis, dan tak pas dalam menyusun resep. Ia menjelaskan, meski yang sering disebut adalah soal investasi, pada kenyataannya persoalan yang hendak diatur dalam RUU ini bukanlah masalah-masalah utama yang selama ini menjadi penghambat investasi.
Ia menyebut contoh ketidaktepatan ini adalah formulasi pemberian pesangon yang tidak didasarkan atas analisis yang komprehensif. Hanya melihat pada aspek ketidakberdayaan pengusaha. Tanpa melihat rata-rata lama masa kerja pekerja yang di-PHK.
“Sehingga nilai maksimal pesangon itu semestinya tidak menjadi momok bagi pengusaha,” ujar sekretaris FPKS di DPR ini.
Keempat, lanjut dia, FPKS menilai sejumlah ketentuan dalam RUU ini masih memuat substansi yang bertentangan dengan politik hukum kebangsaan yang disepakati pasca-amendemen konstitusi.
Dia pun menjelaskan ketentuan-ketentuan yang ditolak dalam RUU Ciptaker. Misalnya, ancaman terhadap kedaulatan negara melaui pemberian kemudahan kepada pihak asing. Termasuk juga ancaman terhadap kedaulatan pangan.
RUU Cipta Kerja memuat substansi pengaturan yang berpotensi menimbulkan kerugian terhadap tenaga kerja atau buruh melalui perubahan beberapa ketentuan yang lebih menguntungkan pengusaha.
“Terutama pada pengaturan tentang kontrak kerja, upah dan pesangon," ungkapnya.
RUU Ciptker, kata Ledia, memuat pengaturan yang berpotensi menimbulkan kerusakan terhadap kelestarian lingkungan hidup. Dalam Pasal 37 RUU Ciptaker terkait perubahan UU Kehutanan, ketentuan penyediaan luas minimum 30 persen untuk fungsi kawasan hutan dari daerah aliran sungai (DAS) dihapus.