FAJAR.CO.ID -- Pengesahan UU Omnibus law dinilai melampaui tata cara pembuatan undang-undang sebagaimana mestinya, selain masih kurangnya sosialisasi terkait RUU Omnibus Law Cipta Kerja sebelum disahkan secara cepat oleh DPR.
Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah menilai, Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai ‘Penjaga Konstitusi’ akan membatalkan seluruh isi dari Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR pada Senin (5/10).
“Omnibus Law itu secara otomatis melanggar konstitusi, karena prinsipnya dalam negara demokrasi, hal itu jelas merampas hak undang-undang, itu enggak boleh. Pembuatan undang-undang harus mengacu pada tata cara pembuatan undang-undang, bukan hanya soal sosialiasi, tapi harusnya pakai Perppu dan diuji di DPR,” kata Fahri kepada wartawan, Rabu (7/10).
Menurut fahri, UU Cipta Kerja ini bukan undang-undang hasil revisi atau amandemen. Melainkan undang-undang baru yang dibuat dengan menerobos banyak undang-undang. Selain melangggar konstitusi, UU Cipta Kerja ini juga merampas hak publik dan rakyat, sehingga jelas-jelas melanggar HAM.
“Ini bukan open policy, tapi legal policy. UU ini (UU Cipta Kerja, red) dianggap oleh publik dan konstitusi merampas hak publik dan rakyat sehingga berpotensi dibatalkan secara keseluruhan oleh MK. Bisa dibatalkan total oleh Mahkamah Konstitusi,” tegasnnya.
Mantan Wakil Ketua DPR ini pun mengungkapkan, dirinya tidak habis pikir dengan bisikan para penasihat hukum dan tata negara Presiden Joko Widodo (Jokowi). Karena lebih mendorong pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU ketimbang mengajukan Perppu atau melakukan sinkronisasi aturan teknis.
“Mohon maaf, penasehat hukum dan tata negaraya Pak Jokowi kurang pintar. Pak Jokowi itu bukan lawyer atau ahli hukum, mestinya ahli hukum yang harus dengar Pak Jokowi. Ini Pak Jokowinya yang enggak mau dengar ahli hukum atau ahli hukumnya yang tidak mau dengerin Pak Jokowi. Tapi kelihatanya ada pedagang yang didengar oleh Pak Jokowi daripada ahli hukumnya,” ungkapnya.
Fahri berpendapat, apabila UU Cipta Kerja ini nantinya dibatalkan secara keseluruhan oleh MK, maka bisa menimbulkan kekacauan pada aturan lain yang terkait. Sebab, RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini bukan tradisi Indonesia dalam membuat regulasi, sehingga akan sulit diterapkan.
Semoga, lanjut Fahri, MK sebagai penjaga kontitusi akan mempertimbangkan untuk membatalkan UU Cipta Kerja, apabila ada judicial rewiew.
“Kalau di judicial rewiew di Mahkamah Kontititusi, misalnya hakimnya menjatuhkan putusan isinya dibatalkan total, maka aturan lain jadi kacau. Demokrasi dan aturan kita sebenarnya sudah cukup, tidak perlu Omnibus Law Cipta Kerja ini,” katanya.
Karena itu, Fahri berharap agar Presiden Jokowi tidak otoriter dalam menerapkan UU Cipta Kerja. Jokowi harus mengumpulkan semua pihak duduk satu meja dan berbicara mengenai UU Cipta Kerja, sehingga publik bisa memililiki pemahaman yang sama dengan pemerintah.
“Itu bisa disiasati. Tidak usah menjadi otoriter kalau sekedar mengajak rakyat berpatispasi dalam pembangunan. Tidak perlu otoriter, ajak semua ngobrol agar memahami kepentigan untuk akselerasi kita. Saya kira semua akan ikut mendukung,” pungkasnya. (jpc)