FAJAR.CO.ID, MAKASSAR - Kalangan buruh merasa disulitkan pasca pengesahan UU Cipta Kerja. UU ini dianggap berpihak pada pengusaha dari segi perizinan.
Namun menjadi buruh atau pengusaha adalah sebuah pilihan. Keduanya tak bisa dibandingkan dan harus saling menguntungkan.
Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Sulsel, Basri Abbas, mengaku risih soal pola pemikiran yang lebih baik menjadi pengusaha. Daripada buruh yang merasa digeser oleh UU tersebut.
"Pemikiran seperti ini kapitalis. Apakah semua rakyat bisa jadi pengusaha UKM? Perlindungan pekerja itu wajib dilakukan negara krn negara ini tidak mungkin semua menjadi pengusaha UKM," kata Basri, Rabu (28/10/2020).
"Hidup di negara hadapkan pada pilihan masing. Mau jadi apa boleh. Maka di sini jelas UUD 1945 sudah jelas bagaimana harus negara hadir, dalam melindungi segenap rakyatnya," sambung dia dalam pesan singkat.
UU Cipta Kerja atau Omnibus Law, kata dia, dianggap sebagai kado spesial bagi para pengusaha. Bukan bagi pekerja atau buruh. Apalagi tanpa jaminan kesejahteraan.
"Kebijakan Omnibus Law hanya memberikan karpet merah bagi pengusaha kapitalis, untuk menjadi pekerja sebagai mesin produksi tanpa ada kepastian jaminan kesejahteraan," bebernya.
Sampai dengan hari ini, Rabu (28/10/2020), para kaum buruh bersama mahasiswa masih turun ke jalan untuk berunjuk rasa dan menuntut penolakan terhadap UU Cipta Kerja tersebut.
Imbas dari aksi itu, gejolak pun terjadi. Mahasiswa dan aparat kerap terlibat saling serang saat aksi unjuk rasa mulai memanas. Apalagi jika sudah dimasuki oleh penyusup yang memperkeruh keadaan.