FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Buntut dari cuitannya di media sosial Twitter yang mengatakan karikatur Nabi Muhammad SAW jelas-jelas tidak ada, Cendekiawan Muslim Nadirsyah Hosen diberondong cibiran dan caci maki dari warganet. Bahkan komentar warganet telah menjurus ke arah fitnah dan pengkafiran.
"Tidak ada itu karikatur Nabi. Memangnya tahu wajah Nabi seperti apa? Terus orang lain bikin karikatur dan diklaim itu karikatur Nabi, kalian percaya? Lantas marah-marah? Penghinaan? Sekali lagi, emangnya yang bikin karikatur dan kalian pada tahu wajah Nabi seperti apa? Mbok ya mikirrr," cuit akun twitter @na_dirs milik Nadirsyah Hosen, dikutip Jumat (30/10/2020).
Menurut Gus Nadir, sapaan karibnya, banyak yang gagal paham dan tersulut emosi atas celotehannya akhir pekan lalu itu. Ia pun membuat sebuah penjelasan untuk membuka mata hati dan pikiran publik.
Dilansir dari website resmi Nadirsyah Hosen, Selasa (3/11/2020), secara gamblang Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand itu menjabarkan makna dari cuitannya di atas.
"Karikatur itu “penggambaran suatu objek konkret dengan cara melebih-lebihkan ciri khas objek tersebut.” Jadi, objek yang mau dikarikaturkan itu harus sesuatu yang konkret sehingga meskipun diotak-atik objeknya, orang lain akan tetap mengenali objek tersebut," ungkapnya sebagai kalimat pembuka.
"Hidungnya bisa dipanjangkan, rambutnya bisa dibikin lebih kribo, atau mulutnya bisa lebih dower. Namun yang melihat objek karikatur tetap tahu siapa itu, dengan atau tanpa menyebutkan nama objek yang ada di karikatur."
Dengan pemahaman di atas, lanjutnya menjelaskan, begitu muncul heboh karikatur yang diklaim objeknya sebagai Nabi Muhammad, tegas ia katakan bahwa itu bohong atau sebenarnya tidak ada itu karikatur Nabi.
Kenapa? Karena objek konkretnya yaitu wajah Nabi tidak diketahui secara umum. Gambar Nabi tidak ada di publik. Kalau dilihat apa yang diklaim sebagai karikatur Nabi itu ternyata objeknya yang pakai sorban, berkumis dan berjenggot seperti orang Arab pada umumnya. Lantas diberi label 'Mahomet' atau 'Muhammad'.
"Pembuat karikatur dan kita semua, tidak ada yang tahu wajah konkret Nabi Muhammad. Itu sebabnya karikatur tersebut hanya dibuat berdasarkan imajinasi kolektif tentang sosok orang Arab. Dan jelas itu bukan wajah Nabi. Itu cuma wajah kebanyakan orang Arab. Tak ada ciri khas sosok Nabi yang kita ketahui lewat berbagai riwayat Hadits," terangnya.
"Nah, kenapa larut dalam permainan imajinasi mereka? Provokasi recehan mereka malah kita tangkap. Kita kena jebakan. Kita emosi. Dan terjadilah tragedi pembunuhan itu yang semakin membuat citra Islam menjadi jelek: seolah Islam sebagai agama kekerasan. Kita memberikan apa yang mereka ingin citrakan lewat karikatur tersebut. Mereka menang. Kita kalah masuk jebakan mereka. Padahal kalau kita merespon dengan bilang: “itu bukan karikatur Nabi Muhammad karena objeknya tidak dikenali secara konkret”, maka urusan akan selesai. Niat mereka hendak mengolok-olok menjadi berantakan. Kita tidak kena provokasi recehan. Karikatur mereka gagal lewat definisi karikatur itu sendiri," urai Gus Nadir.
Mengapa demikian? Gus Nadir kembali menjabarkan bahwa karikatur tersebut salah gambar dan salah imajinasi. Keduanya sama-sama salah. Bedanya, yang pertama objek konkretnya diketahui, yang kedua objek konkretnya tidak diketahui. Perlu belajar logika yang lurus. Celakanya, orang emosi memang susah diajak berpikir dengan logika yang jernih.
"Apa meluruskan soal ketiadaan objek konkret karikatur di Perancis itu berarti membela penghina Nabi? TIDAK," tegasnya.
Ia hanya meluruskan bahwa jangan terkena jebakan provokasi recehan. Karena kita meyakini tak ada foto asli Nabi, maka objek konkret karikatur tersebut tidak ada. Maka gambar apapun yang diklaim sebagai Nabi Muhammad itu pasti keliru dan sebuah kebohongan.
"Bagaimana mungkin kami mau membela sebuah imajinasi keliru? Ya ikut-ikutan keliru namanya," kata dia.
Dengan kata lain, olok-olok karikaturis itu salah sasaran. Meleset jauh. Dengan terpancing emosi tanpa sadar seolah kita turut membenarkan bahwa objek di karikatur itu adalah wajah Nabi. Justru berbahaya.
"Kita, sekali lagi, masuk jebakan olok-olok mereka. Karikatur memang dibuat untuk main-main. Dan mereka sukses mempermainkan emosi kita. Kalau kami jelas tidak mau masuk jebakan mereka, entah dengan anda," tekannya.
Menurut Dosen Senior Monash Law School Australia itu, saat ini umat Islam gampang sekali terpancing emosinya. Satu pihak bilang ini ghirah keagamaan. Namun jangan lupa, kalau kita mudah sekali emosian, maka kita mudah kena jebakan dan provokasi.
"Reaksi emosional kita mudah terbaca. Kita gampang dipermainkan. Dan ini selalu terulang. Makanya postingan kami yang viral itu bertujuan hendak mengingatkan bahwa gak usah terpancing emosi atas imajinasi keliru mereka akan sosok Nabi Muhammad. Katakan saja: “Itu bukan wajah Nabi kami! Karikaturmu meleset dan salah sasaran”. Dan kita pun berlalu," paparnya.
"Sayangnya, malah banyak yang hendak membela Nabi, tanpa mengikuti pesan maupun teladan akhlak Nabi. Lantas yang kita ikuti itu Nabi Muhammad atau Abu Jahal sih?" pungkasnya lugas. (endra/fajar)