Menurut Fahri Bachmid, ada tiga opsi kebijakan hukum yang dapat ditempuh Jokowi terkait kesalahan pengetikan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Hal ini sesuai dengan prosedur yang berlaku dan konstitusional.
Pertama : Bahwa didalam UU RI No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tidak ada pranata hukum serta pengaturan untuk tidak boleh mengubah redaksional UU sepanjang terkait dengan “Typo” dan “Clerical Error” setelah ditandatangani dan diundangkan, atau tidak ada larangan untuk itu, artinya jika terdapat keadaan itu, maka secara hukum Presiden dapat saja berkoordinasi dengan DPR untuk melakukan perbaikan kesalahan teknis tersebut, sepanjang tidak ada implikasi terkait perubahan norma yang telah disepakati bersama dalam sidang paripurna DPR, dan kemudian dapat diundangkannya kembali dalam lembaran negara sebagai rujukan resmi negara,
Kedua; Presiden dapat saja mengeluarkan Perpu terkait perbaikan atas kesalahan bagian tertentu dari UU No. 11 Tahun 2020, berdasarkan ketentuan pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, langkah ini merupakan salah satu saluran konstitusional yang memadai dalam merespons keadaan objektif yang dihadapi pemerintah saat ini, barangkali selain untuk memperbaiki kesalahan “Typo”juga dapat menampung serta mengakomodir berbagai aspirasi yang berkembang ditengah masyarakat terkait UU Cipta Kerja ini untuk penyempurnaan;