FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Kasus yang membelit partai politik berimbas ke Pilkada. Parpol pendukung yang terjerat kasus korupsi berpotensi menggerus elektabilitas pasangan calon. Bisa mencapai 10 persen. Hal ini dikarenakan citra bersih calon ikut tercoreng. Hal itulah yang terjadi pada paslon yang diusung Partai Nasdem dan Gerindra di Sulsel.
Pakar politik Unibos, Arief Wicaksono menilai kasus yang membelit partai Nasdem dan Gerindra memiliki dampak terhadap paslon yang mereka dukung di Pilkada. Termasuk di Sulsel, di mana Ketua DPW Nasdem Sulsel, Rusdi Masse juga namanya ikut terbawa-bawa dalam kasus impor buah yang kasusnya kini sementara berproses.
Adapun, dalam kasus ekspor benih lobster, ada nama ketua DPD Gerindra Sulsel, Andi Iwan Darmawan Aras yang juga disebut-sebut. "RMS dan Iwan Aras itu pimpinan partai. Mereka tentu akan fokus untuk menyelesaikan kasus yang menyeret nama mereka," ungkapnya.
Dengan demikian, kata dia, maka dipastikan proses konsolidasi dan langkah-langkah pemenangan dari Nasdem dan Gerindra Sulsel tidak akan lagi maksimal. "Fokusnya terpecah dan tentu yang diprioritaskan selesaikan kasus mereka masing-masing. Jadi tak lelusa bergerak (RMS dan Iwan Darmawan Aras)," bebernya.
Lebih spesifik, ia menegaskan, dari sisi anggaran yang awalnya sudah disiapkan untuk menggerakkan mesin partai, termasuk saksi-saksi, bisa saja berkurang. Dikarenakan akan dipakai untuk operasional atau mobilitas tinggi mengurus penyelesaian kasus.
"Jadi secara sumber daya mereka tak lagi optimal. Padahal jika mesin partai bekerja tentu akan banyak membantu paslon dalam memenangkan pertarungan," tegasnya. Dari sisi pemilih, lanjutnya, juga sedikit banyak akan beralih. Utamanya mereka yang awalnya swing voters atau sudah memilih, tetapi ragu-ragu dengan pilihan mereka.
"'Secara potensi sangat bisa terjadi beralihnya pendukung atau dukungan dari kandidat yang didukung Nasdem dan Gerindra (Moh. Ramdhan Pomanto-Fatmawati) ke paslon lain,'' imbuhnya.
Analis politik Unismuh, Andi Luhur Prianto mengatakan, setiap partai politik akan menghadapi ujian survivalnya masing-masing dan ujian historis bagi setiap partai politik. Apalagi partai baru, yang belum cukup terinstitusionalisasi dengan baik.
Kampanye Negatif
"Pola tantangannya bersifat internal dan eksternal. Kalau tidak di perhadapkan pada konflik internal, maka akan berhadapan dengan tantangan eksternal, yang umum seperti jeratan kasus korupsi pada elit strategisnya," bebernya. Contohnya, seperti PKS dan PPP yang malah pernah menghadapi keduanya. Konflik internal dan jeratan kasus elit puncaknya.
Imbasnya, kata dia, sedikit tidaknya berimbas pada kader partai. Terlebih bila mengusung seorang kandidat pada momentum Pilkada. "Setiap kasus-kasus hukum yang dihadapi elite partai, akan menjadi bahan negative campaign bagi lawan politiknya," ujarnya.
Isunya bisa dikemas untuk memojokkan kandidat yang memiliki koneksi langsung dengan elite partai yang bersangkutan. Dan secara politik, orang bisa membuat judgement atau penghakiman tanpa harus menunggu pembuktian secara hukum.
"Tentunya judgement atau penghakiman politik, tidak selalu sama dengan kebenaran yuridis. Ya, dampaknya pada citra elektoral kandidat yang diusung. Mereka akan sulit menawarkan gagasan-gagasan tentang pemerintahan bersih dan anti korupsi," jelasnya.
Pakar politik Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), Firdaus Muhammad mengatakan, adanya kasus pada partai pengusung membuat akan menjadi beban tersendiri bagi si paslon yang diusung. "Citra partai yang tersandera kasus tentu berpengaruh terhadap kontestasi politik apalagi dipolitisasi, setidaknya jadi beban," bebernya.
Olehnya itu, kata dia, tugas kader adalah melawan opini bahwa kasus itu ditangani berwajib. "Tidak terkait pencalonan," tegasnya.
Tergerus 10 Persen
Direktur Riset Celebes Research Center (CRC), Muhammad Nurhidayat mengatakan, sejauh ini dari sejumlah riset yang sudah dilakukan lembaganya, tingkat keterpilihan atau elektabilitas seorang calon kepala daerah (cakada) tidak begitu berpengaruh pada partai apa yang mengusungnya. Meski itu partai yang mengusung diterpa isu negatif.
Memang, kata dia, ada pengaruhnya, tetapi tidak banyak. "Pun kalau tergerus, pengaruhnya tak lebih 10 persen dari elektabilitas yang diraih sebelumnya," ungkapnya, Jumat, 27 November.
Sebab, kata dia, para pemilih hingga hari ini masih lebih condong memilih sosok. Bukan pada partai apa yang mengusungnya. "Sejauh ini dari sejumlah daerah yang kami sudah survei. Orang lebih condong memilih sosok. Bukan partai. Meski itu, partai tersebut lagi bermasalah," ujarnya. (abd/abg)