“Saya pribadi mengimbau, memang sebaiknya pemerintah segera membentuk tim pencari fakta independen,” katanya.
Dia bilang, tim pencari fakta ini harus melibatkan pihak ekstrenal dan internal jajaran kepolisian dari Polda Metro Jaya.
“Kalau itu diduga melibatkan pihak aparat sendiri. Maka dua hal yang dibutuhkan. Eksternalitas dan internalitas. Kalau internalitas, biarkan Propam yang katakanlah melakukan proses penyelidikan untuk mengetahui persis peristiwanya,” katanya.
“Tapi eksternalitas penting juga untuk menjaga kepercayaa publik. Bahwa apa yang terjadi memang betul-betul didasarkan pada SOP yang benar. Sehingga jatuhnya korban jiwa 6 laskar FPI itu bisa dipertanggung jawabkan dari segi hukum, karena bukan main-main,” tutur Refly Harun.
Terpisah, Wakil Ketua Umum PBNU, As’ad Said Ali menjelaskan soal penguntitan di dunia intelijen. As’ad Said Ali bilang, penguntitan lazimnya digunakan di dunia intelijen adalah “penjejakan fisik” atau “ physical surveillance “.
“Tujuannya adalah untuk mengetahui keberadaan lawan. Kalau dengan mobil, minimal yang digunakan dua kali lipat dari jumlah mobil yang diikuti. Kalau lawan curiga, penjejak bisa membatalkan misinya atau menekan lawan untuk menghentikan mobil, tetapi tetap berpura pura tidak menjejaki yang bersangkutan., misalnya mengatakan ada kesalah pahamanan,” tulis mantan Wakil kepala Badan Intelijen Negara ini di akun Facebooknya, Selasa (9/12).
Dia menjelaskan, jika sampai terjadi aksi kekerasan apalagi pembunuhan, maka misinya bukan surveillance, tetapi ada misi lain atau kecerobohan petugas sehingga tidak terkendali.