FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, Rachland Nashidik menilai kasus tewasnya enam anggota Front Pembela Islam (FPI) bisa dilaporkan ke Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sebab, tragedi di Jalan Tol Jakarta-Cikampek pada Senin (6/12) dini hari itu diduga telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Kendati demikian, kata aktivis hak asasi manusia itu, pelaporan tersebut tak bisa semana-mena dilayangkan, harus berdasarkan bukti kuat diarahkan kepada PBB.
Demikian disampaikan Rachland melalui akun Twitter @RachlanNashidik yang dikutip Pojoksatu.id, Senin (21/12/2020).
“Bila ada bukti kuat, sekali lagi bila ada bukti kuat, 6 warga sipil yang ditembak mati itu mengalami penyiksaan, hal tersebut bisa dilaporkan pada sidang Komisi HAM PBB di Geneva, RI sudah meratifikasi Convention against Torture melalui UU No.5 tahun 1998,” ujarnya.
Meski begitu, Rachland menurutkan kasus pengawal Habib Rizieq Shihab itu tak bisa dilaporkan secara individu.
Namun, pelaporannya tidak bisa secara individu. Sebab, warga Negara Indonesia tidak bisa melakukan individual complaint pada Komite HAM PBB di New York. Kenapa?
Sebab, lanjutnya, ratifikasi RI atas International Covenant on Civil and Political Rights tak meliputi optional protocol pertama kovenan mengatur hak setiap orang untuk mengadu.
Menurutnya Sidang Komisi HAM PBB di Geneva juga tidak biaa menerima individual complaint.
“Ini adalah sidang untuk menerima laporan pemenuhan HAM dari masing-masing negara anggota. Pesertanya, tentu saja, negara-negara. Namun demikian, di sini dikenal mekanisme “intervention” Apa itu?,” ungkapnya.
Mekanisme “intervention” kata Rachland, yaitu laporan pembanding pada laporan negara yang diberikan oleh sidang Komisi HAM PBB kepada Non-Governmental Organization.
“Yang ini sudah memiliki akreditasi sebagai mitra-PBB. Amnesty International adalah salah satunya,” jelasnya.
“Office of the High Comissioner for Human Rights adalah peserta sidang Komisi HAM PBB. Jadi, bila laporan penyiksaan disampaikan pada sidang ini, akan menarik perhatian High Commisioner,” lanjutnya.
Begitu juga sebaliknya, tambah Rachland, bila sidang diyakinkan RI melanggar Konvensi Anti-Penyiksaan, bisa dibuat penyelidikan.
Menurutnya, proses pelaporan tersebut tidak mudah dan harus melalui beberapa tahap dan banyak persyaratan untuk ditempuh.
“Memang prosesnya tidak mudah dan panjang. Negara-negara lain harus menyetujui inisiatif penyelidikan yang biasanya ditugaskan pada Special Rapporteur PBB,” terangnya.
“Namun bila pun RI berhasil menjegal inisiatif ini, sebagai ganti, RI wajib menyelesaikan kasus sesuai standar HAM PBB,” tandasnya.
(pojoksatu/fajar)