Kini Butce kembali lega. Coral Indonesia sudah diizinkan kembali diekspor. Tapi, kata Butce, coral yang dikirim kepadanya itu 70 persen hasil budidaya.
Para nelayan ternyata tidak hanya menangkap benur lobster.
Sekarang ini, di Amerika bisnis coral lagi baik. Itu akibat pandemi. Banyak orang hanya di rumah. Mereka menjadi punya waktu membersihkan akuarium. Lalu mempercantiknya. Dengan coral baru.
Sang ibu kini masih di Indonesia. Di Biak, Papua. Menjadi tokoh wanita di sana. Sang ibu membangun vihara. Ia pimpinan Buddha di Biak.
Sedang suaminyi, almarhum, mendirikan Gereja di Biak. Menjadi tokoh Kristen di sana.
Kakek-buyut sang ibu tiba di Sulawesi Selatan ketika masih bujang. Indonesia belum berdiri kala itu. Ia kawin dengan putri raja Marros, pinggiran kota Makassar sekarang ini.
Kakek Butce juga menjadi tokoh masyarakat Tionghoa di Makassar. Tinggalnya di Tamajene, yang sekarang disebut Lorong Dua Makassar.
Di dekat situlah terjadi pembantaian besar-besaran oleh penguasa Belanda, Westerling. Orang Sulsel mengklaim angka korbannya 40.000 orang. Itu tahun 1946. Di Jawa kemerdekaan Indonesia sudah diproklamasikan. Di Makassar, Belanda masih ngamuk. Penguasa melakukan razia. Yang dianggap pro kemerdekaan dikumpulkan dan ditembak mati. Secara masal.
Butce mewawancarai ibunya untuk peristiwa ini. Sang ibu mendapat cerita dari bapaknya. Engkong Butce. Engkong Butce itulah yang melaporkan kejadian itu ke konsul Tiongkok di Makassar. Laporan itu, katanya, ikut membuat pembantaian masal tersebut dihentikan.