Syarat Presidential Threshold Turun, Pilpres Kompetitif

  • Bagikan
Ilustrasi pilpres-- (Koko/JawaPos.com)

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR-- DPR RI sedang menyiapkan opsi menurunkan ambang batas presidential threshold alias syarat dukungan kursi (suara) parpol untuk pilpres. Penurunannya bahkan hingga dua kali lipat.

Dalam Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh partai politik dalam suatu pemilu agar dapat mengajukan calon presiden, diatur dalam Pasal 222.

Detailnya, pasangan calon presiden-wakil presiden harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR RI atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif.

Pengamat Politik Unhas Andi Ali Armunanto mengemukakan, penurunan ambang batas presidential threshold dari 20 persen menjadi 10 persen dukungan parpol, secara positif akan membuat kompetisi politik para calon presiden menjadi lebih kompetitif. Sebab, membuka ruang bagi banyak calon yang akan maju.

"Partai politik bisa leluasa mencalonkan presiden. Bahkan satu parpol bisa satu calon," urai Ali Armunanto, Jumat, 22 Januari.

Keuntungan lainnya, calon-calon alternatif bisa menjadi opsi bagi pemilih dalam memilih capresnya. Sosok yang bisa maju juga lebih banyak dibandingkan sistem yang berlaku saat ini yang maksimal hanya bisa tiga atau empat paslon.

Sisi negatifnya, dengan penurunan presidential threshold akan membuat banyak calon tak kompeten muncul. Ini juga akan berpeluang merusak kualitas hasil pemilu jika figur seperti ini yang terpilih.

Soal parliamentary threshold yang diusulkan naik dari sebelumnya empat persen menjadi lima persen, Ali menilai akan membuat partai yang masuk ke parlemen menjadi lebih sedikit. Modelnya mengarah ke penyederhanaan parpol.

"Semakin banyak partai, semakin tidak efektif, sebab banyak kepentingan yang bertarung," jelas Ali Armunanto.

Jika disahkan menjadi UU Pemilu, partai-partai kecil akan susah untuk masuk dan bertarung ke parlemen, meskipun sudah berupaya sekuat tenaga berjuang memikat hati masyarakat.

Masih Opsi

DPR beralasan, formulasi baru batas ambang parlemen dan presiden diharapkan bisa membuat demokrasi makin semarak. Besaran angka yang ditentukan, jangan terlalu besar. Agar keterwakilan suara masyarakat dan proporsionalitas politik nasional bisa terjaga.

Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKS Surahman Hidayat menilai penyederhanaan jumlah partai politik sampai saat ini belum berjalan, ditandai dengan masih banyaknya partai baru dalam setiap pemilu.

Menurutnya, parliamentary threshold (PT) perlu dibuat bersifat nasional. Artinya, partai politik yang tidak memenuhi PT secara nasional tidak hanya tidak diikutsertakan dalam perhitungan kursi DPR RI, namun seharusnya tidak dilibatkan pula dalam proses perhitungan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

"Kebijakan ini perlu diambil dengan pertimbangan kondisi partai politik perlu diselaraskan antara kondisi nasional dengan daerah. Partai politik bisa memperjuangkan aspirasi masyarakat baik level daerah maupun level nasional,” ujar Surahman.

Kebijakan PT bersifat nasional perlu diterapkan agar partai politik yang ada secara alamiah, akan melakukan fusi dengan partai lainnya untuk bisa bertahan.

"Untuk besaran angka parliamentary threshold, saya mengusulkan 5 persen. Menurut saya cukup naik 1 persen dari pemilu sebelumnya. Parliamentary threshold perlu dinaikan, namun jangan terlalu besar. Ini untuk menjaga, jangan terlalu besar suara masyarakat yang tidak terwakilkan dan menjaga proporsionalitas politik nasional,” bebernya.

Surahman berpendapat bahwa penyederhanaan jumlah partai politik perlu dilakukan untuk memperkuat sistem presidensial. Namun jumlahnya dipertahankan pada angka sebagian besar masyarakat memiliki pilihan politiknya.

"Penyederhanaan jumlah partai politik jangan sampai meningkatkan sikap apatis masyarakat terhadap perpolitikan bangsa," terang Surahman.

Rawan Gesekan

Sementara itu, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) masih melakukan kajian terkait ambang batas presidential threshold atau parliamentary threshold. PKB menginginkan angka presidential threshold rasional agar dapat menyehatkan kehidupan partai politik dan demokrasi.

"PKB masih melakukan kajian agar ambang batas ini dapat lebih rasional dan menyehatkan kehidupan partai politik dan demokrasi di Indonesia," ujar Wakil Ketua Umum (Waketum) Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKB, Jazilul Fawaid atau Gus Jazil.

Seperti diketahui, dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu, ambang batas parlemen diusulkan 5 persen. Sementara ambang batas presiden 20 persen. Pembahasan ini masih dalam tahap harmonisasi di Baleg DPR.

Gus Jazil tetap ingin ambang batas parlemen di angka 4-5 persen. Sedangkan, untuk ambang batas presiden di kisaran 10-20 persen.

"Saya pribadi, pada prinsipnya, PKB tidak keberatan ambang batas parlemen 4-5 persen. Namun, untuk ambang batas capres akan lebih membuka peluang alternatif dan kompetisi bila diturunkan pada kisaran 10-20 persen," ucapnya.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ini melanjutkan, angka ambang batas, terutama presiden tidak menimbulkan dampak negatif. Dia berkaca pada Pemilu 2019 lalu dengan munculnya gesekan dan keterbelahan di masyarakat akibat hanya 2 paslon saja karena presidential treshold 20 persen.

"Dengan menurunkan ambang batas capres, kita berharap Pilpres 2024 akan lebih sehat, namun demokrasi tetap semarak," ucapnya.

Hentikan Pembahasan

Sebelumnya, anggota Baleg dan Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Guspardi Gaus, menyatakan pihaknya akan mengusulkan agar pembahasan RUU Pemilu dihentikan saja.

Menurut Guspardi Gaus, pihaknya sudah melakukan pendalaman dan pengkajian. Pertama, pihaknya melihat perkembangan pandemi Covid-19 yang makin parah.

Kebijakan PPKM (penerapan pembatasan kegiatan masyarakat) kembali diperpanjang sampai Februari.

"Artinya, lebih baik kita fokus menangani pandemi Covid-19, bagaimana masyarakat terhindar dari pandemi Covid-19," katanya.

Jadi fokusnya kesehatan masyarakat makin baik. Gugus Tugas juga menyampaikan kondisi makin mengkhawatirkan. Imbas dari pandemi adalah makin terpuruknya ekonomi.

Karenanya, lebih relevan saat ini, fokus nasional mengatasi permasalahan ekonomi tersebut. Dengan pandemi yang makin meningkat, artinya gerak ekonomi masyarakat juga dibatasi. Ada protokol ketat. (bad-khf-fin/rif-zuk)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan