Mereka bertanya bagaimana istri dan anak-cucu saya. “Semua negatif,” jawab saya. Mereka mengkhawatirkan istri saya. Yang punya gula darah. Dan kolesterol tinggi.
Semua keluarga tes kadar vitamin D. Semua rendah. Saya hanya 23,4. Isna Iskan hanya 16. Padahal sebaiknya minimal 40.
Angka 16 itu aneh sekali. Isna itu anggota School of Suffering yang dipimpin kakaknya: naik sepeda tidak kira-kira jaraknya. Praktis setiap hari. Kok kadar vitamin D-nya hanya 16.
Saya pun minta agar Isna minum obat cacing. Siapa tahu makanan yang masuk ke perutnya tidak jadi vitamin. Masuk ke perut cacing. Saya sendiri 6 bulan sekali makan obat cacing. Murah sekali.
Teman-teman di halaman Graha Pena sendiri memutuskan untuk tetap berolahraga tiap hari. Tanpa saya. Tanpa ustad Huda. Juga tanpa istri saya –yang senam di halaman rumah.
Mereka membuat peraturan lebih ketat: begitu lagunya habis harus langsung bubar. Tidak boleh duduk-duduk dulu. Sambil ngobrol. Pun dengan alasan sambil berjemur.
Ir Misbahul Huda, ustad dan senior di grup olahraga, juga terkena Covid. Di hari yang sama. Rapat pesantren di kampung halaman itu memang dipimpin Ustad Huda.
Ia isolasi di rumah. Ia bukan residivis seperti saya. Saya harus ditangani rumah sakit. Tiap hari kami bertukar info: tentang kondisi badan masing-masing.
Saya lihat ustad Huda sangat sehat. Ia meneruskan olahraga di rumahnya. Bersama istri –yang negatif Covid. Saya lega. Indikasi kesehatannya terus terjaga.
Saya juga kirim kepadanya hasil pemeriksaan harian saya: stabil-baik. Juga tanpa gejala.