Pak Manteb memang perintis adegan flash back dalam wayang –sepengetahuan saya. Gaya film beliau adopsi ke wayang.
Misalnya dalam lakon Bharatayuddha episode matinya Pandita Durna. Yang ia gelar selama 7,5 jam itu: adegan pertamanya langsung mengejutkan. Aneh sekali. Adegan pertama itu berupa berseliweran panah di layar. Tokoh pemeran pembuka di lakon itu: panah!
Bahkan di pergelaran Seno Nugroho praktis tidak ada lagi pertunjukan yang diawali dengan ”jejer”. Yakni rapat kabinet kerajaan. Yang monoton. Yang lambat. Yang panjang. Adegan rapat kabinet itu bisa satu jam sendiri.
Di adegan selanjutnya pun kita tidak tahu siapa urutan wayang yang muncul ke layar. Banyak unsur kejutannya.
Seno adalah Ki Manteb dalam bentuk yang lebih maju. Juga lebih kreatif. Meski juga lebih ”rusak-rusakan”. Dengan aransemen gamelan yang juga lebih kaya dan lebih masa kini.
Setelah pulang dari RS kemarin saya ragu: apakah masih punya waktu untuk mengamati perkembangan wayang kulit seintensif ini.
Saya bangga: wayang kulit, tontotan utama saya masa kecil, mengalami kemajuan begitu pesat. Adegan perangnya juga sudah lebih jumpalitan. Pakai salto segala. Saya tidak tahu siapa duluan memulai adegan salto itu: Bayu atau Seno.
Tapi Ki Manteb memang masih top. Termasuk dalam adegan perang. Ki Manteb menyiapkan wayang khusus untuk adegan bunuh-membunuh. Ketika Durna dibunuh, misalnya, kepala wayangnya bisa terpisah sungguhan dengan badan wayang. Lalu kepala Durna itu dijadikan bal-balan sungguhan.
Demikian juga ketika Werkudara membunuh Dursasana. Tangan wayang Dursasana bisa dimutilasi. Demikian juga kakinya.