Bivitri yang merupakan salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu juga melihat adanya fakta hukum lain, yaitu Orient memiliki KTP.
"Ini harusnya tidak bisa. Berarti ada itikad buruk dari dirinya yang sengaja tidak mengungkapkan kewarganegaraan lainnya," ungkapnya.
Selain itu juga ada kelalaian dari petugas kelurahan atau Dukcapil yang tidak melakukan penelitian terlebih dulu. Bivitri mengatakan, petugas kelurahan maupun Dukcapil bisa saja diproses secara hukum pidana.
"Above all, ini menunjukkan parahnya sistem kependudukan kita. Katanya KTP dan dokumen kependudukan lainnya sistemnya sudah direformasi. Sudah Joko Tjandra bisa dapat KTP, ini juga jadi catatan buruk," katanya.
"Yang saya baca di media massa, Dukcapil kota sudah memberikan rekomendasi juga, jadi betul-betul kecolongan. Data kependudukan itu sangat mendasar. Kita lagi ribut-ribut data bansos, data vaksin dll, nah ini soal WNI-WNA saja bisa jebol," sambung Bivitri.
Ia menekankan pemerintah harus melakukan perbaikan mendasar dalam sistem data kependudukan. Ini tidak hanya soal para penyelenggara pemilu, tetapi persoalan administrasi kependudukan.
Diketahui, berdasarkan Pasal 7 UU Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) disebutkan syarat pencalonan kepala daerah adalah harus warga negara Indonesia (WNI). (endra/fajar)