FAJAR.CO.ID -- Orient Patriot Riwu Kore, baru saja terpilih menjadi Bupati Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT), dalam Pilkada Serentak 2020. Namun keterpilihannya itu dinilai cacat hukum bahkan dari sudut undang-undang apa saja. Statusnya yang merupakan warga negara Amerika Serikat menjadi akar masalahnya.
Awal mula kisruh ini muncul saat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur menemukan fakta status kewarganegaan Orient.
Ketua Bawaslu Sabu Raijua, Yudi Tagi Huma menyatakan, pihaknya sudah mendapat laporan dari Kedutaan Besar AS bahwa benar bupati terpilih Orient P Riwu Kore merupakan warga negara Paman Sam.
Bawaslu Kabupaten Sabu Raijua menerima balasan surat elektronik dari Kedubes Amerika Serikat mengenai status kewarganegaraan Orient Patriot Riwu Kore, sejak 1 Februari 2021.
Cuplikan surat elektronik yang ditandatangani Kepala Bagian Konsuler, Eric M Alexander tersebut berbunyi "We would like to inform you that Mr Orient Patriot Riwukore is holding a US Citizenship (Kami ingin memberi tahu Anda bahwa Tuan Orient Patriot Riwukore memegang kewarganegaraan AS)".
Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyatakan, jika dilihat dari sudut pandang ketatanegaraan, Indonesia yang menganut kewarganegaraan ganda terbatas, yaitu hanya untuk anak kawin campur (Ibu/bapak WNI dengan bapak/ibu non-WNI) dan hanya sampai usia 18 tahun, jelas Orient Patriot Riwu Kore tidak memenuhi itu.
"Begitu juga dari aspek kepemiluan, tentu syarat kandidat menjadi tidak terpenuhi, sehingga keterpilihannya harus dibatalkan. Karena syarat paling atas itu WNI dan dia ternyata tidak memenuhi itu," tutur Bivitri Susanti kepada fajar.co.id, Rabu (3/2/2021).
Bivitri yang merupakan salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu juga melihat adanya fakta hukum lain, yaitu Orient memiliki KTP.
"Ini harusnya tidak bisa. Berarti ada itikad buruk dari dirinya yang sengaja tidak mengungkapkan kewarganegaraan lainnya," ungkapnya.
Selain itu juga ada kelalaian dari petugas kelurahan atau Dukcapil yang tidak melakukan penelitian terlebih dulu. Bivitri mengatakan, petugas kelurahan maupun Dukcapil bisa saja diproses secara hukum pidana.
"Above all, ini menunjukkan parahnya sistem kependudukan kita. Katanya KTP dan dokumen kependudukan lainnya sistemnya sudah direformasi. Sudah Joko Tjandra bisa dapat KTP, ini juga jadi catatan buruk," katanya.
"Yang saya baca di media massa, Dukcapil kota sudah memberikan rekomendasi juga, jadi betul-betul kecolongan. Data kependudukan itu sangat mendasar. Kita lagi ribut-ribut data bansos, data vaksin dll, nah ini soal WNI-WNA saja bisa jebol," sambung Bivitri.
Ia menekankan pemerintah harus melakukan perbaikan mendasar dalam sistem data kependudukan. Ini tidak hanya soal para penyelenggara pemilu, tetapi persoalan administrasi kependudukan.
Diketahui, berdasarkan Pasal 7 UU Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) disebutkan syarat pencalonan kepala daerah adalah harus warga negara Indonesia (WNI). (endra/fajar)