Tahun 2002 di podium ilmiah yang agung di Universitas Hasanuddin, dia berdiri gagah. Mengenakan jas lengkap dia menghadapi sejumlah penyanggah dan promotor serta co-promotornya. Dia akan mempertahankan disertasi berjudul “Cacat Molekul dan Ekspresi Fenotipik Thalasemia Beda dan Hemoglobin O Indonesia di Sulawesi Selatan”.
Saya beruntung dapat menyaksikan lelaki yang berdiri gagah itu. Lelaki itu, Dasril Daud, yang hari ini berpulang ke rahmatullah dalam usia 68 tahun, 6 bulan. Sejak itulah saya mengenalnya dengan baik.
Hampir setiap pertemuan, apakah berpapasan di jalan dan halaman gedung Rektorat Unhas, almarhum selalu berhenti sejenak hanya untuk sekadar bertanya.
“Bagaimana kabar?,” sapanya pelan diiringi senyum yang selalu merekah.
Dan setelah orasi penerimaan jabatan guru besar, 2 September 2010, saya lama tak berjumpa, seiring dengan berakhirnya masa jabatan saya sebagai Kepala Humas Unhas Juni 2012.
Ketika kembali menduduki posisi itu 28 April 2015 hingga purnabakti 1 Februari 2017, saya jarang lagi bertemu. Namun, setiap saya ceritakan kepada istri yang juga kerap bertemu almarhum di RSUP Wahidin Sudirohusodo, tempat istri bekerja, selalu mengatakan termasuk maha guru yang ramah dan murah senyum.
Pria kelahiran Makassar, 23 September 1952 tersebut, bersama Hj Truly Dasril Djimahit istrinya dilaruniai dua anak, Tanri Fathky dan Nadya Nurul. Almarhum beberapa waktu yang lalu dikabarkan terpaper Covid-19, sebagaimana diwartakan media sosial.
Saya beruntung mengenalnya. Posisi saya sebagai Humas Unhas yang juga wartawan, memungkinkan nyaris tidak ada orang yang lewat begitu saja jika berurusan dengan masalah akademik (promosi doktor dan pidato pengukuhan jabatan guru besar) di Ruang Senat Unhas Kampus Tamalanrea.
Tanggal 2 September 2010, Prof.Dr.dr.Dasril Daud, Sp.A. (K) berduet dengan Prof.dr.Peter Kabo, Ph,D menyampaikan orasi ilmiah pengukuhan guru besar dalam Bidang Ilmu Kesehatan Anak,