Dinilai Bikin Gaduh Pemkot, Ini 3 Kebijakan Kontroversial Rudy Djamaluddin

  • Bagikan

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR-- Berbagai kritikan ditujukan ke Rudy Djamaluddin di akhir masa jabatannya sebagai Pejabat (Pj) Wali Kota Makassar.

Bagaimana tidak, sejumlah kebijakannya menjadi kontroversial. Bahkan ada pihak yang menyebut Rudy telah membuat kegaduhan di Pemerintah Kota Makassar.

Rudy Djamaluddin adalah Pj Wali Kota Makassar ketiga yang ditunjuk Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah untuk mengisi kekosongan jabatan selepas masa jabatan Moh Ramndhan "Danny Pomanto" di tahun 2018.

Rudy baru dilantik berdasarkan SK yang diterbitkan Kemendagri tertanggal 26 Juni 2020, menggantikan pendahulunya Iqbal Suhaeb dan Yusran Yusuf.

Selama masa jabatannya, Rudy mengemban misi untuk fokus terhadap penanganan Covid-19 yang kala itu menempatkan Kota Makassar sebagai zona merah dengan jumlah kasus positif yang sangat tinggi.

Dalam perjalanannya, Rudy yang juga menjabat Kadis Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Sulawesi Selatan itu melahirkan sejumlah kebijakan untuk mempercepat penanganan Covid-19, hingga di akhir masa jabatannya.

Upaya untuk memberikan dedikasi terbaiknya justru diperhadapkan dengan banyaknya sorotan. Kebijakan-kebijakannya menjadi sangat kontroversial.

Adapun kebijakan-kebijakan yang dinilai kontroversial di akhir masa jabatannya. Berikut rangkumannya:

  1. Larangan Jam Malam

Pj Wali Kota Rudy Djamaluddin mengeluarkan Surat Edaran (SE) Wali Kota Makassar Nomor: 003.02/431/S.Edar/Kesbangpol/XII/2020 yang ditujukan kepada masyarakat Kota Makassar, Organisasi Kemasyarakatan, dan Pelaku/Pengelola Usaha di Makassar.

Dimana surat edaran itu memberlakuan jam malam untuk aktivitas di Mall, Cafe dan Restoran. Aktivitas dibatasi hingga pukul 19:00 WITA atau jam 7 malam.

Kebijakan itu diklaim cukup efektif oleh Rudy, hingga ia memutuskan untuk memperpanjangnya mulai tanggal 4 Januari sampai 11 Januari 2021, setelah sebelumnya dimulai pada 24 Desember 2020 hingga 3 Januari 2021.

Namun dalam penerapannya, ternyata kebijakan itu menimbulkan gejolak dari para pelaku usaha, yang menilai usahanya dimatikan, terutama bagi usaha-usaha yang beroperasi di malam hari.

Salah satu yang terdampak akibat jam malam adalah pelaku usaha tempat hiburan malam.

Ketua Asosiasi Usaha Hiburan Malam (AUHM) Kota Makassar, Zulkarnain Ali Naru menilai kebijakan itu tidak memperhitungkan nasib karyawan Tempat Hiburan Malam (THM) yang sudah kehilangan pekerjaan.

"Kita juga tidak dilibatkan dalam pembuatan Perwali (Peraturan Wali Kota) dan banyak kerancuan. Lagi-lagi bikin surat edaran tidak logis. Harusnya tetap memperhitungkan kita (pekerja usaha hiburan malam,” ucap Zul dalam kesempatan wawancara bersama Fajar, Sabtu (9/1/2021) lalu.

Akibat dari kebijakan ini, aksi unjuk rasa dari para pekerja tak terelakkan.

  1. Dana Hibah Pariwisata

Dana hibah pariwisata untuk membantu pemulihan ekonomi nasional dari Kemenparekraf Tahun Anggaran (TA) 2020 buat Makassar tidak cair. Hal itu lantaran pengurusan administrasinya tidak selesai hingga TA 2020 berakhir. Dan pencairan tidak bisa lagi dilakukan di TA 2021.

Pj Wali Kota Makassar, Rudy Djamaluddin yang mendapatkan kecaman dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyebut kesalahan ada pada bawahannya yang bergerak lamban.

Kecaman dari PHRI datang mulai di awal tahun 2021, yang menyayangkan dana hibah senilai Rp 48,8 miliar gagal terealisasi. Padahal 70 persen di antaranya diperuntukkan untuk pelaku usaha hotel dan restoran.

Puncaknya Rudy kembali mendapatkan aksi unjuk rasa dari para pekerja, pada Rabu (3/2/2021). Rudy bahkan diancam oleh para pelaku usaha dengan tidak akan membayar pajak.

"Dana hibah yang digelontorkan pemerintah pusat melalui Kemenparekraf itu menjadi harapan terakhir kami di tengah pandemi ini. Karena dengan okupansi 20 atau 25 persen, itu akan sulit bagi kami dalam mengatur keuangan operasional maupun membayar upah para karyawan," kata Ketua PHRI Sulsel, Anggiat Sinaga di tengan unjuk rasa PHRI pada Rabu (3/2/2021).

Menanggapi aksi tersebut, Rudy meminta maaf dan mengambil kebijakan memberhentikan sementara Kepala Dinas Pariwisata Kota Makassar, Rusmayani Madjid yang dianggap bertanggung jawab.

Kebijakan mencopot Rusmayani Madjid ternyata dianggap sebuah kekeliruan. Dewan Perwakilan Rakyat Kota Makassar menilai Pj Wali Kota Makassar seakan tak bertanggung jawab.

“Harusnya Pj Wali Kota yang mundur, bukan justru Kadispar yang dipecat,” kata Anggota DPRD Makassar, Sahruddin yang menganggap Rusmayani Madjid jadi tumbal dari ketidakbecusan Rudy Djamaluddin.

  1. Lelang Jabatan Eselon II

Masih hangat soal pencopotan Kadispar Makassar, sehari setelahnya, Jumat (5/2/2021), Rudy Djamaluddin kembali mengeluarkan kebijakan untuk melelang 8 jabatan eselon II Pemkot Makassar.

Kebijakan tersebut tertuang dalam Pengumuman Pemkot Makassar Nomor: 03/PANSEL-JPTP/II/2021 tentang Seleksi Promosi Terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama di Lingkungan Pemerintah Kota Makassar. Surat tersebut diteken Ketua Panitia Pelaksana (Pansel) Prof. Dr. Ir. Syamsu Alam di Makassar.

Masa lelang tergolong singkat hanya lima hari, mulai 6-10 Februari 2021. Dimana jabatan yang dilelang adalah posisi untuk kepala dinas, kepala badan, serta sekertaris kota di lingkup Pemkot Makassar.

Rudy menyebut kebijakan yang diambilnya merupakan hal yang perlu direalisasikan secepatnya. Sebab pelayanan publik harus dimaksimalkan dengan segera mengisi kekosongan jabatan tersebut.

Sama halnya dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya, kali ini lelang jabat itu juga menuai kritikan. Rudy yang hanya tersisa beberapa pekan menjabat sebelum Wali Kota dan Wakil Wali Kota terpilih dilantik, dinilai tidak tahu diri.

Anggota DPRD Kota Makassar, Azwar ST mengaku mengaku heran dengan sikap Rudy yang seolah tidak mendengar kritik para legislator. Adanya lelang jabatan di akhir masa jabatannya hanya menimbulkan kegaduhan di pemerintahan. Yang berdampak pada pelayanan publik warga Makassar.

“Apa yang dia mau lelang jabatn. Masa kepemimpinannya kan sisa menghitung hari, lagian dia cuma sebagai PJ yang ditunjuk membantu proses pemerintahan hingga ada wali kota definitif,” ketus Azwar saat dihubungi fajar.co.id, Jumat (5/2/2021).

Kata dia, Pj harus tahu diri dan tidak membuat kegaduhan yang bisa merugikan warga Kota Makassar. “Hanya tahu bikin gaduh," kesal Azwar.

Tidak hanya itu, rupaya kebijakan itu juga bertentangan dengan aturan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

Dimana proses lelang jabatan harus mengikuti rekomendasi KASN yang salah satunya menyebutkan bahwa lelang jabatan tersebut harus dikoordinasikan terlebih dahulu pada Wali Kota Makassar hasil Pilkada Tahun 2020, dalam hal ini Mohammad Ramdhan Pomanto.

“Perlu kami tegaskan bahwa rencana pelaksanaan dan hasil seleksi terbuka untuk JPT Pratama sebagaimana pada poin 1 (satu), harus dikoordinasikan dengan Calon Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) Kota Makassar, yang dalam hal ini Wali Kota Makassar hasil Pemilukada Tahuh 2020. Bahwa koordinasi tersebut berkaitan dengan kelancaran dan kesinambungan dalam pelaksanaan Pemerintahan dan Pembangunan serta pelayanan kepada Masyarakat Kota Makassar,” bunyi surat KASN nomor B 598/KASN/02/2020.(MG3/Fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan