Suap Bansos Covid-19, Abdul Fickar Hadjar: KPK Jangan Takut Termasuk terhadap Oknum Partai yang Berkuasa

  • Bagikan

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Penyidikan perkara dugaan suap pengadaan Bansos Covid-19 masih berjalan. Namun belum menyentuh level anggota DPR yang diduga ikut bermain dalam proyek bancakan tersebut.

Terkait hal ini, pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar mendesak agar lembaga antirasuah mengusut tuntas kasus dugaan suap pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun anggaran 2020.

Terlebih belakangan ini muncul penerimaan uang senilai Rp 1.532.044.000 dan dua unit sepeda Brompton kepada operator anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Ihsan Yunus, Agustri Yogasmara alias Yogas dari tersangka Harry Van Sidabuke.

Penerimaan itu terungkap dalam rekonstruksi dugaan suap pengadaan bansos Covid-19. Bahkan, Ihsan Yunus sempat dijadwalkan untuk diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi pada Rabu (27/1) karena surat pemanggilan belum diterima, Ihsan tidak menghadiri pemerikasaan di KPK.

“Dalam konteks korupsi bansos yang merupakan korupsi yang sangat keji (memotong jatah orang miskin), maka KPK jangan takut dan jangan tebang pilih. Termasuk terhadap oknum oknum partai yang berkuasa,” kata pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar kepada JawaPos.com, Minggu (14/2).

Fickar menegaskan, meski kini KPK merupakan lembaga eksekutif yang diwakili Dewan Pengawas, tetapi harus tetap independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Dia mengharapkan, KPK harus berani menyeret koruptor meski dia oknum partai penguasa.

“KPK meskipun lembaga dibawah eksekutif yang diwakili Dewas dia tetap independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya yaitu menyeret para koruptor yang ada di birokrasi pemerintahan termasuk di legislatif, DPR, maupun koruptor di penegak hukum,” tegas Fickar.

Fickar menyebut, jika ada indikasi penggembosan masyarakat harus menuntut KPK untuk mengusut pihak lain dalam kasus tersebut. Terlebih hingga kini, KPK belum menjadwalkan ulang terhadap Ihsan Yunus.

“Kalau ada indikasi penggembosan maka masyarakat harus berteriak dan terus menggugat KPK untuk menangani dan menuntut semua pihak yang terlibat, termasuk oknum oknum partai di DPR yang memiliki perusahaan rekanan Kemensos,” tegas Fickar.

Terkait hal ini Ihsan Yunus tidak bisa dikonfirmasi karena nomor telfonnya tidak aktif. Sementara sebelumnya, Pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK, Ali Fikri memastikan bakal mendalami dugaan penerimaan uang senilai Rp 1.532.044.000 dan dua sepeda mewah bermerk Brompton yang diberikan tersangka penyuap pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19, Harry Sidabuke kepada politikus PDI Perjuangan Ihsan Yunus.

“Terkait dengan apakah peristiwa dugaan adanya pemberian uang atau barang dari tersangka kepada pihak-pihak lain sebagaimana adegan dalam rekonstruksi tersebut merupakan suap, tentu perlu dikonfirmasi lebih lanjut dengan saksi-saksi dan alat bukti,” kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK, Ali Fikri dikonfirmasi, Senin (1/2).

Juru bicara KPK bidang penindakan ini menyampaikan, lembaga antirasuah akan mendalami fakta yang muncul dalam rekonstruksi perkara dugaan suap pengadaan bansos yang kini sudah menjerat mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara. Ali menyebut, rekonstruksi itu pada dasarnya untuk membuat terang penanganan kasus tersebut.

Ali menegaskan, pihaknya tak segan menetapkan pihak lain dalam hal ini Ihsan Yunus sebagai tersangka, jika ditemukan dua alat bukti yang cukup bahwa dirinya menerima suap.

“Prinsipnya apabila dalam proses penyidikan perkara ini ditemukan setidaknya dua bukti permulaan yang cukup keterlibatan pihak lain tentu KPK dapat menetapkan pihak tersebut sebagai tersangka,” pungkas Ali.

KPK menetapkan lima orang sebagai tersangka. Sebagai tersangka penerima suap diantaranya Juliari Peter Batubara selaku Menteri Sosial (Mensos); Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wahyono (AW) selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kemensos. Selain itu sebagai pemberi suap, KPK menetapkan Ardian Iskandar Maddanatja (AIM) dan Harry Sidabuke (HS) selaku pihak swasta.

KPK menduga, Juliari menerima fee sebesar Rp 17 miliar dari dua periode paket sembako program bantuan sosial (Bansos) penanganan Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek. Penerimaan suap itu diterima dari pihak swasta dengan dimaksud untuk mendapatkan tender sembako di Kementerian Sosial RI.

Juliari menerima fee tiap paket Bansos yang di sepakati oleh Matheus Joko Santoso selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) sebesar Rp 10 ribu perpaket sembako dari nilai Rp 300 ribu perpaket Bansos.

Sebagai Penerima MJS dan AW disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Sementara itu, JPB disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Pihak pemberi AIM dan HS disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (jpc/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan