FAJAR.CO.ID, MAKASSAR - Akhirnya pemerintah memperlihatkan keseriusannya untuk melakukan revisi terhadap Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Pemerintah melalui Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD telah membentuk tim kajian revisi UU ITE.
Pembentukan tim ini berdasarkan Keputusan Menko Polhukam Nomor 22 Tahun 2021 tentang Tim Kajian Undang-Undang Tentang UU ITE.
Tim terdiri atas pengarah dan tim pelaksana. Pengarah bertugas memberikan rekomendasi melalui koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian kementerian/lembaga. Sementara tim kedua bertugas melakukan kajian revisi UU ITE itu sendiri.
Menanggapi pembentukan tim tersebut, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Muhammad Haedir meminta kajian harus memperhatikan pasal-pasal karet yang ada di dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 tersebut. Khususnya pada Pasal 27 dan 28.
"UU ITE sebenarnya sudah pernah direvisi, revisi itu terkait Pasal 27 dan 28, yang direvisi adalah ketentuan sanksi dalam pasal tersebut, setelah revisi juga masih banyak memakan korban. Hal ini karena pasal-pasal tersebut memiliki rumusan yang tidak jelas, dampaknya sangat gampang seseorang ditahan hanya karena berbicara di media sosial," papar Haedir kepada fajar.co.id, Senin (22/02/2021).
Hendaknya pasal tersebut, kata Haedir seharusnya dihapuskan saja pada revisi nanti. Akan tetapi jika tidak, maka perlu diberi perhatian serius.
"Kalau memang pasal-pasal tetap hendak dipertahankan, perlu dirumuskan definisi perbuatan tidak menyenangkan dalam pasal tersebut," ungkapnya.
Tidak hanya itu, lanjut Haedir,dalam penggunaan pasal-pasal tersebut juga sering disalahgunakan.
"Terdapat kasus yang hanya bisa dikenakan Pasal 27, tapi karena ancaman pidana untuk Pasal 27 tidak dapat ditahan, polisi kemudian memasukkan juga Pasal 28, meskipun unsur pasalnya nya sangat jauh dari perbuatan pelaku tidak pidana," tandas Haedir.
UU ITE Pernah Direvisi Tahun 2016
UU ITE pertama kali disahkan sebagai UU Nomor 11 Tahun 2008 kemudian direvisi pada tahun 2016.
DPR telah merevisi UU tersebut dengan mengesahkan UU Nomor 19 Tahun 2016.
Berdasarkan informasi yang dihimpun fajar.co.id, revisi saat itu ternyata tidak serta merta mencabut pasal-pasal dalam UU ITE yang dianggap sebagai pasal karet.
Pasal yang dianggap bermasalah antara lain Pasal 27 Ayat (1) soal kesusilaan, Pasal 27 Ayat (3) soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan Pasal 28 Ayat (2) soal ujaran kebencian.
Dalam Pasal 45 UU Nomor 11 Tahun 2008, pelanggaran atas tiga pasal di atas terancam pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Kemudian direvisi dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 yang hanya menurunkan ancaman pidana bagi pelanggar Pasal 27 Ayat (3) terkait penghinaan dan/atau pencemaran nama baik menjadi 4 tahun penjara dan/atau Rp750 juta.
UU tersebut juga menyatakan bahwa ketentuan pidana soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik merupakan delik aduan.
Sementara, ancaman pidana bagi pelanggar pasal kesusilaan dan pasal ujaran kebencian tetap paling lama 6 tahun penjara dan/atau denda Rp 1 miliar.
Dengan perubahan itu, maka tersangka kasus penghinaan dan/atau pencemaran nama baik tidak dapat ditahan selama masa penyidikan karena ancaman hukumannya penjara di bawah lima tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Selain itu, terdapat tiga perubahan lainnya, yakni adanya penambahan Pasal 26 berbunyi hak untuk dilupakan. Pasal ini mengizinkan seseorang untuk mengajukan penghapusan berita terkait dirinya pada masa lalu yang sudah selesai, tetapi diangkat kembali.
Kemudian yang kedua adalah adanya penambahan ayat baru pada Pasal 40 yang memberikan hak bagi pemerintah untuk menghapus dokumen elektronik yang terbukti menyebarkan informasi melanggar undang-undang.
Informasi yang dimaksud terkait pornografi, SARA, terorisme, pencemaran nama baik, dan lainnya.
Dan yang ketiga, perubahan menyangkut tafsir atas Pasal 5 terkait dokumen elektronik sebagai bukti hukum yang sah di pengadilan.
UU ITE yang baru mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan dokumen elektronik yang diperoleh melalui penyadapan (intersepsi) tanpa seizin pengadilan tidak sah sebagai bukti.(mg3/fajar)