FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah sebagai tersangka suap proyek infrastruktur. Nurdin bakal mendekam selama dua hari di Rutan KPK. Keterangan resmi tersebut disampaikan langsung Ketua KPK Firli Bahuri saat gelar konferensi pers, Minggu (28/2/2021) dini hari.
Kejadian ini menggemparkan Indonesia khususnya masyarakat Sulawesi Selatan. Pasalnya, Nurdin dikenal sebagai tokoh dan kepala daerah anti-gratifikasi. KPK juga selalu dilibatkan dalam menjalankan roda pemerintahan. Bahkan Nurdin pernah diganjar trofi penghargaan bergengsi dari Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) tahun 2017 lalu.
Bung Hatta AC Award di laman Twitternya @BungHattaAward mengaku terkejut dan prihatin dengan kasus korupsi yang melilit Nurdin Abdullah. Diterangkan, Nurdin mendapat BHACA tahun 2017 saat ia menjabat bupati Bantaeng.
"Kami sangat terkejut & prihatin dengan berita tentang pak Nurdin Abdullah pagi ini. Beliau mendapat award tahun 2017 ketika masih menjabat Bupati Bantaeng, Sulsel," tulisnya di Twitter.
Salah satu anggota dewan juri Bung Hatta Award 2017, Bivitri Susanti juga bereaksi yang sama. Ia sangat menyesalkan atas apa yang dilakukan Gubernur Sulsel tersebut.
"Penangkapan Gubernur Sulsel ini tentu sangat disesalkan," ujar Bivitri kepada fajar.co.id, Sabtu (27/2/2021).
Menurut Bivitri, proses pemilihan penerima penghargaan berlangsung sangat serius dan ketat. Selain menerima masukan masyarakat, penelusuran rekam jejak juga dilakukan secara langsung ke lapangan.
"Dari awal tidak hanya baru-baru ini, selalu ada tim khusus (terjun langsung) ke daerah," tukasnya.
Pada awalnya, penghargaan Bung Hatta Award hanya diberikan kepada aktivis-aktivis antikorupsi. Namun setelah melalui kajian, Bung Hatta Award kemudian diusulkan juga diberikan kepada para kepala daerah.
Harapannya ketika itu, penerima award dari kalangan pemerintah (tidak hanya aktivis - dulu ada Saldi Isra, dll), akan menjadi dorongan dan inspirasi antikorupsi di kalangan pemerintah.
Tapi, terang Ahli Hukum Tata Negara tersebut, perkembangan setelah award diterima, tidak bisa dikontrol, meskipun si penerima menandatangani pakta integritas saat menerima penghargaan BHACA tersebut.
Ia juga menyinggung terkait adanya kemungkinan penghargaan anti korupsi itu bakal dicabut jika Nurdin Abdullah nantinya dinyatakan terbukti bersalah.
"Soal penarikan award, di BHACA ada prosedurnya sendiri oleh BHACA sebagai organisasi (kami hanya juri), dan tentunya juga akan terkait dengan proses hukum, apakah ia nantinya terbukti bersalah atau tidak," tuturnya.
Dewan Juri BHACA berkomitmen terus mendukung penuntasan perkara ini. Ia menegaskan, pada akhirnya ukurannnya bukan si individu itu sendiri, karena tujuan BHACA bukan soal award-nya. Award hanya salah satu cara agar cara pandang dan perilaku antikorupsi semakin menyebarluas.
"Jadi kita dukung saja kerja KPK dan lihat bagaimana perkembangannya nanti. Prosedur internal BHACA memang ada dan melibatkan pengurus organisasi BHACA," beber Bivitri yang merupakan salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu.
Nurdin Abdullah disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Selain Nurdin Abdullah, KPK juga menetapkan dua tersangka lainnya yakni ER yang merupakan Sekretaris Dinas PUPR Sulsel, dan AS seorang kontraktor dan pemberi suap. (endra/fajar)