Sebab, menurut Fahri Bachmid, secara konstitusional berdasarkan hirarki norma hukum, dan sesui UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Beleeid MA itu berada dibawah norma UU yang level dan derajat hukum UU sangat tinggi, sehingga produk hukum MA itu bertentangan dengan kaidah pembentukan perundang-undangan, yaitu asas “Lex superiori derogat lex inferiori” sebagaimana diatur dalam ketentuan norma pasal 7 ayat (1) UU RI No. 12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Fahri Bachmid mengatakan, untuk menghindari problem legalitas dengan segala implikasi yuridisnya terkait sidang pidana online yang tidak memiliki basis legal dalam KUHAP, yang kemudian sangat berpotensi untuk mengurangi pemenuhan hak terdakwa maupun saksi, sebab berkaitan dengan teknis pembuktian yang berorientasi pada mencari kebenaran materill yang tidak mudah dan rumit, maka idealnya perlu dan mendesak untuk segera dilakukan revisi secara terbatas terhadap hukum acara yaitu KUHAP.
Menurutnya, Presiden Jokowi segera mengambil kebijakan luar biasa untuk menerbitkan Perpu tentang perubahan atas UU RI No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, agar pranata dan mekanisme persidangan pidana dan pidana khusus secara online melalui sarana video conference memiliki landasan dan pijakan legal-konstitusional.
"Sehingga produk lembaga peradilan, termasuk putusan hakim sebagai 'law and justice enforcer' mempunyai derajat legitimasi yang tinggi dan kokoh. Dan di sisi yang lain, para terdakwa sebagai 'Justitiabelen' memperoleh keadilan yang substantif, yang tidak terhalangi oleh berbagai prosedur formal yang legalistik. Ini sejalan dengan prinsip persamaan di depan hukum 'equality before the law' yang adalah prinsip dari dan untuk semua golongan yang berasal dari 'ordinary law of the land' yang dilaksanakan oleh 'ordianary court'," tutup, Fahri Bachmid. (rls/fajar)