FAJAR.CO.ID -- Dengan harga per kilogram bisa mencapai Rp120 ribu, ladang di tepi jalan desa tak ubahnya ”tambang emas.”
Bahkan, pada malam hari, demi lombok yang harganya kian ”pedas”, para pemilik lahan rela tidur di gubuk dan tepi jalan untuk mengantisipasi aksi pencurian yang juga kian macam-macam.
Otomatis, siang–malam ladang tersebut mesti dijaga dari tangan-tangan jahil.
”Apalagi, jelang panen atau ketika tanaman sudah tua, pemilik dan keluarganya harus menjaga ketat,” kata Mafhtuhin, salah seorang petani cabai di Desa/Kecamatan Grabagan, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, kepada Jawa Pos Radar Tuban.
Grabagan dikenal sebagai salah satu sentra cabai atau lombok, si ”emas merah” yang harganya pada tiga bulan terakhir terus melonjak, bahkan sampai mengalahkan harga daging sapi per kilogram. Dan, diperkirakan harganya terus tinggi selama periode Ramadan dan Lebaran dalam dua bulan ke depan.
Di Desa Grabagan, sebagian besar tegalan cabai berada di tepi jalan desa. Bahkan, sebagian tanaman berimpitan dengan jalan. Inilah yang membuat para petani khawatir. Sebab, pernah terjadi beberapa kali pencurian. Para petani atau pemilik lahan pun melakukan penjagaan siang hingga malam, nyaris 24 jam.
Hal serupa dilakukan di ladang-ladang cabai di berbagai daerah. Di Desa Cinandang, Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, misalnya. Jito, warga Cinandang, mengungkapkan bahwa kebiasaan bermalam di sawah berlangsung mendekati masa panen raya pertama. Langkah itu dilakukan karena sering ditemukan tanaman cabai yang dibabat orang. Selain itu, buah cabai yang siap matang kerap hilang dari pohonnya. ”Modelnya maling itu, ada yang (tanaman cabai) dibabati (ditebas habis). Ada juga yang dipetik,” ungkap Jito kepada Jawa Pos Radar Mojokerto.