(Mengenang Farid Husain)
Oleh: Eben Ezer Siadari-Salim Shahab
Editor Rayyana Publishing
Berita berpulangnya Farid Husain (FH) terasa mengejutkan. Umur beliau 9 Maret lalu, genap 71 tahun. Ia dapat dikategorikan lansia. Namun berita kepergian salah seorang putra terbaik Sulawesi Selatan itu tetap terasa terlalu cepat. Bukan saja karena pembawaannya yang energik, optimistis dan penuh semangat. Tetapi yang terutama adalah karena peran dan pikiran-pikirannya sebagai salah seorang tokoh yang berkiprah di pentas nasional masih dibutuhkan.
Sampai akhir hidupnya, FH masih aktif sebagai salah seorang ketua bidang Pengurus Pusat Palang Merah Indonesia (PMI). Sebagai dokter, ia turut mewarnai kebijakan di bidang kesehatan nasional ketika ia menjadi Direktur Jenderal Bina Medis Kemenkes (2005-2010). Namanya juga dikenal di Ikatan Dokter Indonesia (ia pernah menjadi Ketua IDI Sulawesi Selatan) dan sekaligus Ketua Persi (Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia) Cabang Sulawesi Selatan. Sebagai akademisi sekaligus alumni Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, namanya popular. Ia pernah menjadi ketua harian Ikatan Alumni Unhas (2006-2016) dan dosen teladan FK Unhas (1986). Bahkan walaupun belum bergelar Profesor – karena Ia selalu menolak menyandang gelar itu- Ia akrab dipanggil Prof. Walaupun panggilan sebagai bapak Ai – Panggilan kecilnya – tak kalah populer.
Ketokohan beliau yang paling menonjol adalah sebagai aktivis dan tokoh perdamaian, yang berperan penting dalam menemukan solusi dalam berbagai konflik di Tanah Air dan dunia internasional. Sebagai salah satu orang kepercayaan Jusuf Kalla (baik sebagai Menko Kesra pada pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri maupun sebagai Wapres di pada pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono), FH terlibat langsung dalam penanganan konflik di Poso, Ambon, Aceh dan Papua, bahkan juga sempat menjajaki dialog penyelesaian konflik di Thailand dan Afganistan.